RAPBN 2026 dan Janji Manis Presiden! Kesejahteraan Guru Masih Jauh dari Harapan?
KALTENG.CO-Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kembali menjadi sorotan.
Anggaran pendidikan yang fantastis dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyoroti janji Presiden yang belum juga terwujud, padahal kesejahteraan guru non-ASN dan honorer masih sangat memprihatinkan.
Janji Presiden: Upah Minimum untuk Guru Non-ASN Belum Terwujud
Satriwan Salim mengingatkan kembali janji Astacita Presiden, yang berkomitmen untuk mewujudkan standar upah minimum bagi guru non-ASN dan honorer. Namun, hingga kini janji tersebut belum terealisasi. Akibatnya, banyak guru honorer, guru madrasah swasta, dan guru PAUD masih menerima upah yang jauh di bawah standar.
“Masih banyak guru-guru honorer maupun non-ASN di Indonesia, seperti guru swasta termasuk guru madrasah, guru PAUD yang upahnya bahkan di bawah para buruh,” kata Satriwan.
Banyak dari mereka yang hanya digaji antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per bulan, jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Padahal, Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat 1 Huruf A jelas menyatakan bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum.
Insentif Rp300 Ribu Bukan Kado, Tapi Pemenuhan Hak yang Belum Sempurna
Satriwan juga mengkritik penggunaan istilah “kado” oleh Presiden terkait pemberian insentif dan bantuan subsidi upah untuk guru. Menurutnya, insentif sebesar Rp300 ribu per bulan bukanlah hadiah, melainkan pemenuhan hak guru yang seharusnya sudah mereka terima.
“Sangat tidak tepat Presiden menggunakan istilah kado untuk guru. Maaf, bukan kami kufur nikmat, tapi insentif Rp300 ribu per bulan bukanlah kado, tapi pemenuhan hak guru yang itupun tidak terpenuhi seutuhnya,” tegasnya.
P2G mendesak Presiden untuk segera merealisasikan janjinya dalam Astacita. Langkah konkritnya adalah dengan menetapkan standar upah minimum nasional bagi guru non-ASN. Hal ini dianggap sebagai cara paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bukan dengan insentif yang bersifat sementara.
Anggaran Pendidikan Fantastis Tapi Tak Dirasakan Guru
Menurut Satriwan, anggaran pendidikan yang sangat besar tidak berdampak signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah, serta kesejahteraan guru. Dia juga menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah menganggap guru dan dosen sebagai beban anggaran negara.
“Jika menurut Menkeu Sri Mulyani guru dan dosen adalah beban anggaran negara, semestinya Kementerian Keuangan tidak perlu mengambil anggaran pendidikan, yang justru semakin menambah beban pendidikan,” lanjutnya.
Dorongan untuk Pendidikan Gratis dan Penataan Ulang Tata Kelola Sekolah
Selain masalah kesejahteraan, P2G juga mendorong pemerintah untuk menata ulang tata kelola sekolah. Satriwan menekankan perlunya mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3, yang menyebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Hal ini bertujuan agar seluruh proses pendidikan berjalan dalam satu sistem yang terintegrasi.
Terakhir, P2G mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pendidikan dasar gratis. Satriwan meminta agar sekolah swasta dan madrasah swasta juga dapat dibiayai oleh negara.
“Meski keputusan MK menyatakan proses ini bisa bertahap, tapi harus dimulai. Jangan diabaikan,” pungkasnya. Ia berharap pemerintah segera membuat program awal yang memudahkan masyarakat untuk mengakses sekolah, baik negeri maupun swasta, tanpa hanya memprioritaskan Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda. (*/tur)




