BeritaEkonomi BisnisNASIONAL

Pertalite dan Solar Naik, Inflasi Bisa Tembus 8 Persen

KALTENG.CO-Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan Solar masih belum ada penegasan. Hanya saja, gonjang-ganjing seputar kenaikannya sudah marak dibicarakan, tidak hanya kalangan pengamat ekonomi, melainkan juga warga biasa.

Kenaikan dua bahan bakar minyak (BBM) ini disebut-sebut akan terjadi diam-diam. Hal ini sebagaimana terjadi pada kenaikan harga sebelumnya. Malah ada yang menduga-duga, kenaikan akan terjadi pada tengah malam tanggal 1 September 2022.

Lantas apa dampaknya bagi perekonomian nasional jika benar terjadi kenaikan BBM?

Para pengamat meramalkan inflasi bakal terus meningkat, mencapai 6 persen sampai 8 persen hingga akhir tahun. Terutama setelah pemerintah memberikan sinyal untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pertalite dan solar.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan indeks harga konsumen (IHK) Agustus mencatatkan deflasi bulanan. Terkontraksi 0,12 persen month-to-month (MtM) dibanding 0,64 persen MtM pada Juli 2022.

Penurunan IHK didorong oleh penurunan harga bahan pangan, khususnya bawang merah, cabai merah, daging ayam, dan minyak goreng.

“Berkat normalisasi hasil panen dan produksi pangan di tengah kondisi cuaca yang kondusif. Tarif jasa angkutan udara juga terlihat turun di tengah desakan pemerintah menambah jumlah armada pesawat niaga,” terangnya.

Dia memproyeksi inflasi inti tahunan akan terus menguat seiring dengan membaiknya permintaan dan mobilitas masyarakat. Secara tahunan, inflasi Agustus diperkirakan sekitar 4,79 persen.

Angka tersebut lebih tinggi dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 4,9 persen year-on-year (YoY). Angka tersebut masih di atas kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia di level 2 persen sampai 4 persen YoY.

Inflasi inti juga bakal terus menguat sejalan dengan akselerasi ekonomi domestik. Yakni, 2,99 persen YoY. Naik 0,13 persen poin dari inflasi inti Juli 2,86 persen YoY.

Mengantisipasi risiko tekanan inflasi di paro kedua 2022 di tengah penyesuaian harga BBM, Faisal memperkirakan inflasi akan terus meningkat. Sejalan dengan membaiknya permintaan (demand-pull inflation) ditambah dengan harga bahan makanan dan energi yang lebih tinggi (cost-push inflation).

Dampak kenaikan harga BBM diperkirakan cukup besar. Tak hanya berdampak pada putaran pertama inflasi administered price. Tapi juga di putaran kedua pada transportasi serta barang dan jasa lainnya.

“Ini berarti inflasi utama dan inti dapat memanas secara signifikan setelah kenaikan (harga BBM),” ungkap Faisal.

Perhitungannya menunjukkan jika harga pertalite dinaikkan dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter, maka akan meningkatkan inflasi sebesar 0,83 persen poin. Juga berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi minus 0,17 persen poin.

Sementara kenaikan harga solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 8.500 per liter akan berkontribusi mengerek inflasi sekitar 0,33 persen poin dan menurunkan pertumbuhan ekonomi minus 0,07 persen poin.

“Ini berarti tingkat inflasi pada 2022 bisa lebih tinggi dari perkiraan kami saat ini sebesar 4,6 persen, berpotensi menuju sekitar 6 persen,” papar Faisal.

Sementara itu, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menuturkan, inflasi pada akhir 2022 sangat ditentukan oleh besaran kenaikan BBM. Jika naik menjadi Rp 10 ribu per liter, maka inflasi bisa mencapai 8 persen YoY.

Itu karena ada efek langsung terhadap konsumsi masyarakat, terutama dari sisi transportasi dan logistik. Sedangkan dampak tidak langsungnya, ongkos produksi dunia usaha akan naik.

Sehingga masyarakat diminta siap-siap lantaran harga barang dan jasa akan ikut naik.

“Karena salah satu komponen bahan bakunya adalah BBM. Namun jika kenaikan BBM dilakukan secara gradual tidak langsung Rp 10 ribu per liter, mungkin bisa lebih rendah,” jelasnya dalam workshop journalist class Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Artinya, kenaikan harga BBM, praktis mengerek inflasi dan suku bunga bank sentral. Begitu pula, biaya bunga di laporan keuangan dunia usaha meningkat sehingga laba yang diperoleh menurun. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tertahan.

“Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional 5,44 persen YoY (kuartal II) sebagian besar disumbang oleh korporasi,” imbuhnya.

Selain itu, membengkaknya subsidi pemerintah lantaran tingginya harga minyak dunia dan penyesuaian harga BBM yang tidak mengikuti pasar membuat defisit APBN melebar. Hal itu harus ditutup dengan utang. Sehingga membuat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik.

“Jadi, pemerintah mengalami dilema antara subsidi BBM atau inflasi tinggi,” bebernya. (*/tur)

Related Articles

Back to top button