Tolak Tunjangan Prestasi! PGRI Kawal RUU Sisdiknas 2025 Demi Tunjangan Profesi Guru Tetap Satu Gaji
KALTENG.CO-Perumusan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tahun 2025 telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Proses ini menandai babak baru dalam upaya mereformasi fondasi pendidikan di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Nasional PB PGRI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal setiap tahapan legislasi demi memastikan hak-hak guru dan dosen tetap terjamin.
PGRI secara konsisten berkeinginan agar RUU Sisdiknas dapat diwujudkan sebagai Undang-Undang omnibus law. Tujuannya adalah menyatukan berbagai aturan pendidikan yang sebelumnya terpisah-pisah, menciptakan regulasi yang lebih terpadu dan efisien.
💰 Kesejahteraan Guru Adalah Pijakan Utama
Isu paling krusial yang menjadi perhatian utama PGRI adalah upaya mempertahankan hak-hak guru dan dosen terkait tunjangan profesi. PGRI meminta agar tunjangan profesi tetap dipertahankan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Ketua LKBH Nasional PB PGRI, Abdul Waseh Hasas, dengan tegas menyatakan bahwa kesejahteraan tenaga pendidik harus menjadi pijakan utama dalam pembangunan pendidikan.
“Yang terpenting, hak guru dan dosen tetap dihargai negara melalui tunjangan profesi sebesar minimal satu kali gaji pokok setiap bulannya,” ujar Abdul Waseh Hasas.
🚫 Menolak Wacana Tunjangan Berbasis Prestasi
Dalam beberapa wacana pembahasan, muncul ide untuk mengubah skema tunjangan profesi menjadi tunjangan berbasis prestasi. Sikap PGRI terhadap wacana ini jelas: menolak.
Menurut Abdul Waseh Hasas, sistem tunjangan yang didasarkan pada prestasi justru berpotensi menimbulkan kerumitan dan ketidakpastian dalam penentuan besaran tunjangan bagi guru dan dosen.
- Rumit dan Subjektif: “Tunjangan prestasi terlalu rumit. Barometernya sulit ditentukan, nilainya bisa berbeda-beda, dan itu akan menyulitkan,” jelasnya.
- Kepastian Hukum vs. Ketidakpastian: Sementara Tunjangan Profesi memiliki dasar perhitungan yang jelas dan pasti (minimal satu kali gaji pokok), tunjangan berbasis prestasi rentan menimbulkan ketidakpastian.
Abdul Waseh Hasas menekankan bahwa berbicara tentang pembangunan pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau metodologi, tetapi harus menyentuh aspek Sumber Daya Manusia (SDM), terutama kesejahteraan tenaga pendidik. “Tidak mungkin sistem pendidikan bisa berjalan maksimal tanpa memperhatikan kesejahteraan guru,” tandasnya.
📢 Suara Guru Harus Terjamin dalam Kebijakan
Sikap tegas ini didasarkan pada harapan agar suara guru dan dosen di seluruh Indonesia benar-benar didengar dan diakomodasi dalam proses legislasi RUU Sisdiknas. Tujuannya adalah menjamin kesejahteraan dan martabat profesi pendidik tetap terjaga dalam UU Sisdiknas 2025 yang baru.
Senada dengan hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI, Wijaya, turut menyampaikan harapan yang mendalam. Ia menyoroti pentingnya konsistensi antara narasi politik dan implementasi kebijakan di lapangan.
“Narasi keberpihakan kepada guru jangan selalu indah dipidatokan tetapi tidak ada keberpihakan di kebijakan dan implementasi di lapangan,” kritik Wijaya.
Sebagai guru yang telah mengabdi genap 20 tahun, Wijaya berharap RUU Sisdiknas yang masuk Prolegnas dapat menjadi bukti nyata bahwa guru merupakan pilar penyangga negara.
“Guru bermartabat, profesional, terlindungi, dan sejahtera, tidak bisa ditawar lagi,” pungkas Wijaya, menegaskan sikap taktis PGRI.
Dengan pengawalan ketat dari LKBH Nasional, PGRI bertekad memastikan bahwa setiap pasal dalam RUU Sisdiknas 2025 akan memperkuat, bukan melemahkan, posisi dan hak-hak dasar para pendidik di Indonesia. (*/tur)




