“Padahal, petani di sana justru lebih mengetahui kondisi lahan mereka dan benih apa yang cocok ditanam di sana. Bahkan, tidak semua petani juga mengetahui adanya food estate di wilayahnya,” tegasnya. Pihaknye memberikan rekomendasi, di antaranya pandemi Covid-19 ini menjadi momentum untuk mengoreksi kebijakan ekonomi dan pembangunan, review dan evaluasi perizinan serta lakukan penegakan hukum. Maksimalkan potensi atau program reforma agraria untuk merombak ketimpangan struktur dan penguasaan agraria sebagai cara untuk mengatasi problema krisis pangan.
“Berikan subsidi yang tepat sasaran dan berkelanjutan kepada sektor yang paling berkepentingan yaitu petani dan peladang dan benahi kebijakan pangan pertanian dan agrarian,” ucapnya. Sementara itu, dari Pantau Gambut Oriz Putra mengatakan, terbitnya Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 juga bertentangan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada permen LHK itu menyebutkan memperbolehkan kawasan hutan lindung yang sudah tidak berfungsi lindung dapat dibangun menjadi kawasan food estate.
“Namun, pada pasal 26 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu,” tegasnya.
Pihaknya merekomendasikan agar pemerintah memperbaiki poin penilaian Indonesia yang masih kurang dalam hal ketahanan pangan. Tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan gambut serta melakukan diversifikasi pangan dengan alternatif pangan lokal.“Termasuk intensifikasi pertanian yang sudah ada,” pungkasnya.(abw/ram)