PALANGKA RAYA, kalteng.co – Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, untuk digunakan keperluan Negara dan kemakmuran rakyat.
“Pajak muncul jika ada transaksi, artinya jika ada transaksi maka wajib membayar pajak. Pengusaha membayar pajak sesuai dengan transaksi yang diperoleh. Jika tidak ada transaksi maka tidak perlu membayar pajak,” ucap Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Palangka Raya, Aratuni Djaban, Kamis (4/2/2021).
Aratuni menjelaskan, khusus
untuk kuliner atau restoran, perorangan atau badan usaha yang melakukan
penjualan makanan di tempat maupun di luar, yang omzetnya di atas Rp200 ribu
rupiah perhari, maka wajib membayar pajak.
“Seandainya dia memperoleh
pendapatan Rp6 juta perbulan artinya rata-rata Rp200 ribu perhari sampai Rp15
juta perbulan akan dikenakan pajak 5 persen. Di atas Rp15 juta perbulan maka
dikenakan pajak 10 persen,” jelasnya.
“Jika kurang dari itu, ya pajaknya
tidak perlu dibayarkan. Pertanyaannya, dibilling pajaknya kan pasti 10 persen
tidak 5 persen, lalu bagaimana jika mereka menghasilkan Rp5500.000 selama satu
bulan, setelah tutup buku akhir bulan, ya mereka tidak perlu bayar pajak, hanya
laporan itu harus ada, dibuktikan dengan billing transaksi,” tambahnya.
Kemudian, jelas dia, pajak 10 persen yang sudah dipungut oleh restoran atau pelaku usaha kuliner terhadap konsumen tersebut diberikan porporasi (tanda itu sah untuk digunakan).
”Ini lah sebenarnya unsur keadilan dari pemerintah, anggaplah pemerintah membangun dan memberikan peluang usaha ekonomi mikro. Sebenarnya itu yang dikatakan keringanan pajak. Intinya pajak ini berkeadilan, keadilannya itu tadi,” katanya.
Ia berharap, pelaku usaha
kuliner jujur dan taat membayar pajak. Sebab ini merupakan kontribusi wajib
yang digunakan untuk pembangunan. Untuk melakukan kontrol, jika dirasa perlu
maka BPPRD melakukan tongkrongan di tempat usaha, atas persetujuan pelaku
usaha.
“Misalnya 20 hari, jadi di
sini bisa kami hitung pendapatannya dalam sehari,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk pajak
diskotik dan karaoke pajaknya sebesar 25 persen, karena ini bukan kebutuhan
primer. Untuk pagelaran film, kecantikan dan pusat kebugaran 10 persen.
“Khusus ini berapa pun
pendapatannya tetap ditarik pajaknya. Kami tidak menagih yang tidak mereka
dapatkan, yang kami tagihkan yang sudah ada transaksinya,” tegasnya.
Selain itu, pajak bisa ditarik
apabila sudah ada nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD). Konsekuensi NPWD ini,
jika tidak ada pendapatan maka harus melaporkan pajak nihil, yang bisa
dilaporkan by sistem.
“Untuk pendataan NPWPD tim
kami jemput bola,” ungkapnya.
Menurut dia, masih ada kendala di lapangan dalam
pajak, yakni banyak pengusaha yang tidak mau menarik pajak, alasannya karena
harga dagangan mereka menjadi naik. “Padahal kita hanya menitipkan saja, karena
yang membayar pajak adalah masyarakat yang melakukan transaksi di sana. Jadi
ayo bayar pajak yang gunanya untuk pembangunan di daerah kita,” tandasnya. (aza)