BeritaNASIONALPENDIDIKAN

Polemik Gelar Profesor Kehormatan, Muhammadiyah Keluarkan Larangan, Akademisi Angkat Bicara!

KALTENG.CO-Fenomena pemberian gelar Profesor atau Guru Besar Kehormatan (Honoris Causa/HC) di dunia pendidikan tinggi Indonesia kerap kali memicu polemik.

Sorotan tajam muncul lantaran gelar prestisius ini terkadang diberikan kepada individu yang tidak memiliki rekam jejak aktif dalam mengajar dan meneliti layaknya seorang dosen pada umumnya.

Menyikapi isu sensitif ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengambil langkah tegas dengan melarang seluruh perguruan tinggi di bawah naungan Muhammadiyah untuk memberikan gelar Profesor atau Guru Besar Kehormatan (HC). Kebijakan ini pun menuai respons positif dari kalangan akademisi yang selama ini menyoroti praktik tersebut.

https://kalteng.co

Prof. Lely Arrianie Sambut Baik Larangan Muhammadiyah: Proses Jadi Guru Besar Itu Panjang!

Salah satu akademisi yang menyambut baik kebijakan Muhammadiyah adalah Prof. Lely Arrianie, seorang dosen di LSPR Institute yang baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Komunikasi Politik pada Jumat (11/4/2025).

Ia menekankan bahwa untuk meraih gelar Guru Besar atau Profesor, seorang dosen harus melalui proses yang panjang dan berliku.

“Saya jadi dosen sudah 25 tahun,” ungkap Prof. Lely saat ditemui di kampus LSPR Institute sebelum acara pengukuhannya.

Beliau menjelaskan bahwa seorang dosen harus mengumpulkan skor atau poin dari berbagai aspek, mulai dari kegiatan pendidikan atau pengajaran, aktivitas penelitian yang menghasilkan publikasi ilmiah, hingga kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, keikutsertaan dalam forum ilmiah sebagai peserta atau pembicara juga menjadi poin penilaian.

Prof. Lely menyoroti fenomena pemberian gelar Guru Besar Kehormatan yang seringkali mengejutkan publik. “Tiba-tiba jadi Profesor (HC), kapan jadi dosennya,” ujarnya, menyiratkan kejanggalan dalam proses pemberian gelar tersebut tanpa adanya jejak karir akademik yang jelas.

Orasi Ilmiah Prof. Lely: Urgensi Model Komunikasi Politik Khas Indonesia Menuju 2045

Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar, Prof. Lely menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Komunikasi Politik Tanpa Model: Tantangan Menemukan Model Komunikasi Politik Khas Indonesia Menuju 2045”.

Dalam orasi, ia menyoroti belum adanya model komunikasi politik yang khas di Indonesia hingga saat ini.

Menurut Prof. Lely, sejak era Presiden Soekarno hingga kepemimpinan Joko Widodo dan kini Prabowo Subianto, para pemimpin Indonesia dinilai lebih menonjolkan gaya komunikasi politik personal dibandingkan dengan model komunikasi politik yang terstruktur.

Ia menegaskan bahwa model komunikasi politik berbeda dengan gaya komunikasi politik. Gaya lebih bersifat personal, sementara model memiliki struktur dan kerangka yang lebih sistematis.

Rektor LSPR: Jumlah Guru Besar di Indonesia Sangat Langka

Pada kesempatan yang sama, Rektor LSPR Institute, Andre Ikhsano, mengungkapkan bahwa gelar Profesor atau Guru Besar hingga saat ini masih menjadi sesuatu yang langka di Indonesia.

“Karena data menyebutkan, jumlah Guru Besar atau Profesor hanya sekitar 2,6 persen dari populasi dosen yang aktif. Jumlah dosen yang aktif sekarang 330 ribuan,” jelas Andre Ikhsano, menggambarkan betapa sulitnya mencapai gelar akademik tertinggi tersebut melalui jalur reguler.

Lebih lanjut, Rektor LSPR juga menjelaskan adanya transformasi dalam proses pengajuan gelar Guru Besar yang kini berbasis digital. Berbeda dengan masa lalu yang mengharuskan pengiriman dokumen fisik berjilid-jilid, sistem digitalisasi diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat proses, serta meminimalisir risiko kehilangan dokumen penting.

Kebijakan larangan pemberian gelar Profesor Kehormatan oleh Muhammadiyah dan pandangan dari para akademisi seperti Prof. Lely Arrianie semakin memperkuat sorotan terhadap praktik ini. Diharapkan, hal ini dapat mendorong evaluasi dan penataan kembali sistem pemberian gelar kehormatan di Indonesia agar lebih transparan dan tidak merendahkan nilai serta perjuangan para akademisi yang meraih gelar Profesor melalui jalur akademik yang sesungguhnya. (*/tur)

Related Articles

Back to top button