HAM Harus Tetap Dihormati Meski Tak Diatur Konstitusi
“Secara teori, negara yang meninggalkan spirit zaman akan tertindas oleh zaman. Siapa yang mengabaikan spirit zaman, ia akan ditinggalkan oleh zaman, persoalan hak asasi manusia adalah persoalan yang sangat mendasar. Tidak hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegas Aswanto.
Namun Konstitusi RIS 1949 dianggap belum memadai, lagi-lagi yang menjadi perdebatan adalah persoalan HAM. Perlindungan terhadap hak-hak perempuan menjadi salah satu hal yang mendasar. Kemudian Konstitusi RIS 1949 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 sebagai periode ketiga pemberlakuan konstitusi. UUDS 1950 berlaku mulai 17 Agustus 1950-5 Juli 1959.
“Lagi-lagi terjadi perdebatan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam UUDS 1950. Karena perdebatannya tidak tuntas, Presiden Soekarno mengatakan kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Itu adalah periode keempat pemberlakuan konstitusi sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang,” jelas Aswanto.
Aswanto melanjutkan, meskipun Indonesia sudah kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tapi dianggap masih ada kekurangan, salah satu kekurangannya adalah persoalan HAM. Itulah sebabnya dilakukan amendemen UUD 1945 mulai 1999-2002, yang di antaranya melahirkan Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD 1945.
Sebelumnya, persoalan HAM tersebar di beberapa pasal, terjadi percampuradukkan antara HAM dan hak konstitusi. Konstitusionalisme HAM atau hak konstitusional sebenarnya adalah hak seseorang yang dijamin, dilindungi dalam konstitusi.