Nuzul Quran, Masihkah?
Sebab, dimensi pertama hanya sebatas lahir. Ia belum mampu menyuguhkan kelezatan kalam Allah pada rohani. Ketika hanya bertahan pada dimensi pertama, bila tidak hati-hati, maka bisa tergincir dengan prilaku (sadar atau tak sadar) yang cenderung “menginjak-injak” Alquran. Fenomena ini bagai air dan minyak yang dituang dalam gelas. Semua unsur tak menyatu dan hadirnya tak bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus.
Untuk itu, dimensi pertama perlu ditingkatkan pada level dimensi kedua untuk “menuzulkan sembari menikmati” manisnya Alquran dalam perpaduan jasmani dan rohani diri. Nuzul Quran dalam diri bagai menyatunya seluruh unsur dalam segelas kopi susu. Wujudnya harmonis dan nikmat tanpa menonjolkan diri, serta mampu mengusir rasa haus yang mendera.
Pemahaman dan upaya manusia untuk menuzulkan Alquran pada diri perlu dimaksimalkan. Dimensi ini menempatkan upaya untuk menuzulkan Alquran dalam kehidupan dan menjadikan Alquran sebagai acuan hidup yang utama secara totalitas (kaffah).
Persoalannya, masihkah Nuzul Quran tertahan pada dimensi historis-literal, atau nestapa pada beberapa tingkat di bawah dimensi pertama? Bila hal ini terjadi, perlu upaya maksimal sembari merajut pinta pada-Nya agar Alquran berkenan nuzul dalam diri.
Bila Alquran bersemayam, maka robohlah kejahilan diri yang selama ini tegak kokoh dengan atribut asesoris yang mengelabui. Lalu, saatnya setiap diri melakukan evaluasi. Hanya diri yang hatinya bersama Alquran mampu menjawab semua pesan Ilahi. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis