Politik Uang di Kubangan Kemiskinan
SELALU saja topik pembahasan kontestasi dalam pesta demokrasi adalah isu yang tak pernah basi dan menemukan ujung saat dibicarakan, memang demikianlah ciri ataupun corak dari sebuah negara yang mengyakini bahwa untuk mencapai tujuan dan mimpi dari berbangsa dan bernegara. Dengan jalan pilihan demokrasi, maka budaya berdebat dan berdiskusi pun menjadi salah satu penandanya.
Perbincangan tentang kualitas, kapasitas, integritas ataupun bahkan isi tas menjadi lingkaran yang tak pernah bisa jauh dari materi pembicaraan tersebut, karena konon mengutip beberapa pendapat masyarakat sipil di warung kopi yang ada di tingkat akar rumput “visi dan misi tanpa RP (baca; Rupiah)” adalah kemustahilan semata.
Pesta demokrasi khususnya pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan serentak pada 9 Desember nanti, gelaran pesta di tengah wabah pandemi yang amat menakutkan, tentunya sebuah perjudian besar yang jika tidak memperhitungkan dampak dan strategi pencegahannya akan justru membuat sia-sia sematalah semua imbauan, aturan dan pembiayaan yang telah dikeluarkan, akan tetapi nampaknya keputusan demikian adalah yang terbaik karena telah ditetapkan dalam sebuah aturan.
Namun, pada tulisan kali ini kita tidak akan membahas terkait kontestasi pada saat wabah pandemi. Kita akan kembali menyikap tabir terkait dengan politik uang (money politic). Berbicara tentang politik uang memang bukanlah sebuah topik atau cerita baru, malainkan sebuah rayap yang telah membelokan hakekat dari proses dan tujuan berdemokrasi itu sendiri. Tentunya tidak kurang para penyelenggara pemilu ataupun apparat penegak hukum untuk melakukan sosialisasi dan edukasi bagaimana buruknya dampak dari politik uang itu sendiri, akan tetapi kenapa tetap saja tidak mampu berdaya ubah untuk memperbaiki proses dan pelaksanaan dari demokrasi Itu sendiri? Karena logika sederhananya bagaimana mungkin pesta demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang memiliki naluri dalam menjawab setiap kerinduan masyarakat dan mengurai sekaligus menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Jika disadari proses awal saja para calon pemimpin ini sudah tersandra dengan mahalnya mahar atau cost dalam menjalankan dan menggerakkan roda demokrasi yang jujur dan adil, belum lagi jika kita membicarakan politik uang pada saat hari H pelaksanaan pesta demokrasi itu sendiri. Biaya mobilisasi pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS), biaya saksi, tim bayangan, biaya pembelian suara untuk mengaburkan dan membelakangi akal sehat (akrab dikenal serangan fajar), dan masih banyak lagi pembiayaan yang tak tersebutkan dengan kata dan kalimat tentunya.
Lantas muncul sebuah pertanyaan besar bagi kita bersama, siapa yang salah? Atau di mana yang salah? Hipotesa yang coba penulis kemukan di sini, yakni pertama, sistem demokrasi kita masih memberikan ruang besar bagi kemungkinan dan keharusan adanya politik uang itu sendiri. Kedua partai politik yang ada di negeri ini sebagai bagian dari pilar-pilar demokrasi kita justru menjadi produsen dari terbidaninya kejahatan-kejahatan demokrasi itu sendiri, ditambah lagi dengan sangat miskinnya kader partai politik yang berani menerobos metode lama dalam demokrasi ini dan juga membawa sebuah gagasan atau konsep besar untuk pengejewantahan dari daulat rakyat itu sendiri, sebagaimana ius constituendum dari demokrasi itu sendiri.
Terakhir, pada kontestasi pemilihan kepala daerah di tahun ini nampaknya strategi politik uang akan tetap menjadi momok menakutkan dan senjata pamungkas perebutan atau mempertahankan kekuasaan. Karena tentunya masyarakat di akar rumput tidak bisa disalahkan sepenuhnya, di tengah kebuntuan politik sebagai alat pendistribusian kesejahteraan dan keadilan, dan masih banyaknya keberadaan masyarakat pada lingkaran kubangan kemiskinan.
Mereka berada pada situasi dan keadaan yang tak banyak pilihan, menjadi bagian dari money politik itu sendiri atau mengedepankan akal sehat dan logika dengan konsekuensi membusuk karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Demikianlah kemiskinan selalu saja membawa dan menyeret kita selain pada penderitaan dan kesengsaraan melainkan juga kemiskinan di dalam pilihan itu sendiri. Sudah saatnya reformasi demokrasi sesungguhnya dimulai dari sitem dan dasar hukum, lembaga pelaksana dan aturan mainnya di bereskan, akan tetapi masih mungkinkah kita berharap sementara kita tahu aturan main dan hukum itu sendiri merupakan hasil kesepakatan dan permufakatan politik atau para politisi yang masih dengan logika dan paradigma yang pantas kita curigai mengalami kesesatan.(*)
Penulis adalah warga Bartim, yang menempuh pendidikan pascasarjana magister ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat