Utama

Segini Luasan Lahan yang Dibolehkan Dibakar Peladang Tradisional

PALANGKA RAYA-Setelah berlarut-larut, DPRD Kalteng akhirnya menyetujui isi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Kebakaran Lahan. Kesepakatan tersebut terlihat dalam forum rapat gabungan bersama Pemprov Kalteng yang dilaksanakan di ruangan rapat gabungan, Gedung DPRD Kalteng, kemarin (6/7). Dalam sidang yang dipimpin langsung Ketua DPRD Kalteng Wiyatno itu, tujuh fraksi dalam laporan pandangan akhir menyatakan sepakat dan menerima Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan.

Selanjutnya raperda ini akan dibawa ke Sidang Paripurna V DPRD Kalteng, yang rencananya dilaksanakan hari ini (7/7).

Ketua Bapemperda H Maruardi menyampaikan, ada sejumlah revisi poin-poin penting terkait substansi raperda hasil koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Antara lain menghilangkan frasa “hutan” dari kalimat awalnya “pengendalian kebakaran hutan dan lahan” menjadi “pengendalian kebakaran lahan”. Alasannya, selama ini pengelolaan kawasan hutan adalah tanggung jawab pemerintah pusat, kecuali kawasan hutan kota.

Selain itu, menegaskan kembali jika ada dalam pasal tertera bahwa luas area lahan yang diperbolehkan untuk dilakukan pembakaran oleh peladang tradisional maksimal dua hektare per kepala keluarga (KK). Tidak mengubah sanksi kurungan bagi yang melanggar aturan di dalam perda tersebut, yaitu kurungan penjara selama enam bulan dan sanksi denda Rp50 juta.

Pada 28 Januari 2020 rapat kerja antara tim Bapemperda DPRD dengan tim dari Pemprov Kalteng membahas hasil fasilitasi dari Kemendagri. Pada prinsipnya secara umum dewan menyetujui hasil fasilitasi itu. Akan tetapi, DPRD memberikan beberapa catatan dan masukan kepada pihak pemprov untuk dikonsultasikan kembali dengan Kemendagri.

Ada pergantian frasa dalam salah satu pasal. Kalimat “oleh masyarakat hukum adat” dihanti menjadi “oleh petani peladang atau pekebun. Penggantian frasa tersebut dilakukan mengingat  belum adanya penetapan masyarakat hukum adat secara  yuridis formal.

Adapun jawaban dari Kemendagri terkait penyesuaian hasil fasilitasi Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan tertuang dalam surat Nomor: 188.34/ 1590/POKDA tertanggal 14 Maret 2020. Disampaikan bahwa istilah “masyarakat hukum adat” dapat diganti menjadi  “petani peladang atau pekebun yang berasal dari anggota masyarakat hukum adat”.

Jawaban dari Kemendagri ini kemudian dibahas lagi secara bersama oleh pemprov dan DPRD. Dalam pembahasan revisi yang dilakukan pada 22 Juni  dan dilanjutkan pada 1 Juli, anggota dewan memandang bahwa dalam raperda tersebut perlu mencatumkan dan mempertegas definisi dari masyarakat hukum adat serta kewenangan atau legal standing dari perangkat-perangkat adat seperti pembekal, mantir, dan damang dalam memberikan izin kepada warga untuk melakukan pembakaran lahan di daerahnya.

Tadi malam, wartawan Kalteng pos menghubungi kembali Maruardi melalui sambungan telepon. Ia menegaskan kembali Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan akan resmi disahkan dalam Selasa 7 Juli.

“Setelah disahkan dalam sidang Paripurna yang dihadiri oleh Gubernur bersama sama seluruh ketua dan Anggota DPRD Kalteng  dan diberi nomor, baru raperda tersebut resmi berlaku sebagai Perda Provinsi Kalteng,“ ucapnya.

Politisi dari Partai Golkar ini juga menyampaikan bahwa memang benar dalam perda tersebut juga mengakomodir peran dari perangkat lembaga masyarakat adat seperti mantir adat dan damang untuk dapat memberikan izin kepada warga di daerah untuk bisa melakukan kegiatan pembakaran lahan secara tradisional.

“Damang bisa memberikan izin pembakaran lahan kepada warga atas rekomendasi dari mantir adat di desa atau wilayah tersebut, namun terkait rincian pemberian izin oleh pihak perangkat adat ini tidak diatur secara terperinci di dalam raperda tersebut,” bebernya.

Rencana izin yang dikeluarkan oleh damang ini akan diatur secara terperinci  di dalam pergub yang dikeluarkan oleh gubernur.

“Syarat-syaratnya bagi damang untuk memberikan izin kepada warga juga ketat dan tidak boleh sembarangan. Seperti contohnya selain harus rekomendasi dari mantir adat setempat, warga juga dilarang melakukan pembakaran lahan di atas tanah bergambut,“ katanya.

Dalam rapat kerja tersebut dihasilkan kesimpulan-kesimpulan. Di antaranya, Perda Pengendalian Kebakaran Lahan nantinya akan menjadi payung hukum di tingkat Provinsi Kalteng. Terkait petunjuk teknis lebih lanjut akan diatur dalam peraturan gubernur maupun dalam perda di tingkat kabupaten/kota se-Kalteng.

“Nantinya perda ini akan disandingkan dengan peraturan gubernur, sebagai bagian proses penting untuk memastikan substansi pengaturan yang memberikan kepastian hukum,” kata H Maruardi dalam laporannya kepada peserta rapat.

Maruardi membeberkan, pada mulanya raperda itu diberi nama Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Diajukan oleh gubernur Kalteng dalam Rapat Pleno Paripurna DPRD Kalteng pada 6 Maret 2017 lalu.

Selanjutnya ketua DPRD Kalteng mengeluarkan Surat Keputusan (SK) DPRD Kalteng Nomor: 188.4.43/47/DPRD/ 2017 tentang Pembentukan Tim Pembahasan Raperda pada 20 Maret 2017. Kemudian dilanjutkan pembahasannya oleh anggota DPRD periode 2019-2024.

Diketahui juga raperda ini telah mengalami tindak lanjut pembahasan fasilitasi dari Kemendagri sebanyak dua kali, yang hasilnya dituangkan dalam Surat Kemendagri Nomor: 188.34/2082/OTDA tertanggal 3 April 2019, dan juga dalam Surat Pengganti Nomor: 188.34/1590/OTDA 20 Maret.

“Substansi utama dari raperda ini adalah aturan pelarangan bagi masyarakat untuk membakar guna membuka lahan pertanian,” katanya.

Akan tetapi, melihat realita di tengah masyarakat, anggota DPRD Kalteng bersama Pemprov Kalteng memandang perlu tetap adanya pengakuan terhadap budaya kearifan lokal serta berbagai hal khusus lainnya, yang bisa dianggap pengecualian dalam aturan larangan pembakaran lahan tersebut.

“Hal khusus itu misalnya pemusnahan yang disebabkan terjadinya wabah penyakit pada tanaman,” terang Maruardi dalam laporannya, sembari menambahkan bahwa terkait aturan khusus ini juga sudah tertuang dan diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan ini dianggap tidak bertentangan dengan aturan perundangan-undangan yang lebih tinggi,” tegasnya.

Related Articles

Back to top button