
KALTENG.CO-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa masih terdapat 13.710 pejabat negara atau wajib lapor yang belum menunaikan kewajiban mereka untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu pada Jumat, 11 April 2025.
Data terbaru dari KPK menunjukkan bahwa dari total 416.348 wajib lapor, baru 402.638 LHKPN yang telah diterima.
“Sampai dengan batas akhir pelaporan LHKPN untuk tahun pelaporan 2024, yakni pada 11 April 2025, KPK telah menerima sejumlah 402.638 LHKPN, dari total 416.348 Wajib Lapor, atau persentase pelaporan tepat waktunya mencapai 96,71 persen,” ujar tim juru bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan pada Selasa (15/4/2025).
Meskipun demikian, KPK memberikan apresiasi kepada para Penyelenggara Negara yang telah menunjukkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan LHKPN. Budi Prasetyo menekankan bahwa kepatuhan ini merupakan wujud nyata komitmen dan teladan yang baik dalam upaya pencegahan korupsi di kalangan pejabat publik.
Verifikasi LHKPN Dilakukan, Publikasi Menyusul
Lebih lanjut, KPK akan melakukan tahapan verifikasi administratif terhadap LHKPN yang telah diterima. Proses ini bertujuan untuk memastikan kelengkapan laporan yang telah disampaikan oleh para wajib lapor.
“KPK selanjutnya akan melakukan verifikasi administratif untuk memeriksa kelengkapan pelaporan LHKPN yang telah disampaikan,” kata Budi.
Setelah dinyatakan lengkap melalui proses verifikasi, LHKPN akan segera dipublikasikan secara transparan melalui laman resmi KPK, yaitu elhkpn.kpk.go.id. Langkah ini bertujuan untuk memberikan akses kepada publik untuk memantau harta kekayaan para penyelenggara negara.
Imbauan untuk Pelaporan Meski Terlambat
Bagi para penyelenggara negara maupun wajib lapor yang belum menyelesaikan kewajiban pelaporan LHKPN hingga batas waktu yang ditentukan, KPK tetap memberikan imbauan untuk segera melaporkan harta kekayaan mereka. Pelaporan LHKPN, meskipun terlambat, tetap merupakan bentuk transparansi atas kepemilikan aset atau harta seorang pejabat publik.
“Sementara bagi para penyelenggara negara maupun wajib lapor yang belum menyelesaikan kewajibannya, tetap diimbau untuk melaporkan LHKPN-nya sebagai bentuk transparansi atas kepemilikan aset atau harta seorang pejabat publik, meski tetap tercatat terlambat,” tegas Budi.
Peran Pimpinan Instansi dalam Pengawasan LHKPN
KPK juga menekankan pentingnya peran pimpinan instansi maupun satuan pengawas internal di masing-masing lembaga untuk aktif melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kepatuhan pelaporan LHKPN para Penyelenggara Negara di lingkungan mereka.
“Karena itu, KPK mengimbau kepada pimpinan ataupun satuan pengawas internal untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kepatuhan LHKPN para Penyelenggara Negara pada masing-masing institusinya,” ujar Budi.
Kepatuhan terhadap LHKPN ini dinilai memiliki peran strategis dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Data LHKPN dapat digunakan sebagai salah satu basis data pendukung dalam berbagai proses, seperti promosi bagi pegawai yang patuh, maupun sebagai dasar untuk penjatuhan sanksi administratif bagi mereka yang lalai dalam melaporkan harta kekayaannya.
“Kepatuhan LHKPN ini dapat digunakan sebagai salah satu basis data dukung dalam manajemen ASN, seperti promosi bagi para pegawai yang patuh, maupun penjatuhan sanksi administratif bagi yang lalai,” pungkas Budi Prasetyo.
Dengan adanya pengawasan dan tindakan tegas terhadap ketidakpatuhan pelaporan LHKPN, diharapkan integritas dan akuntabilitas para penyelenggara negara dapat semakin ditingkatkan, serta upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat berjalan lebih efektif. (*/tur)