BeritaNASIONALPOLITIKAUtama

Pemilu 2029 Berubah! MK Putuskan Pemisahan Pemilihan Nasional dan Lokal

KALTENG.CO-Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang akan mengubah wajah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia mulai tahun 2029.

Dalam keputusan yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025), MK menyatakan bahwa keserentakan Pemilu akan dirombak. Pemilihan Presiden (Pilpres), DPR, dan DPD RI akan dipisahkan dari pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur, bupati, dan wali kota.

Latar Belakang Putusan MK: Gugatan Perludem

Putusan ini merupakan respons atas sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem mengajukan permohonan terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak yang selama ini berlaku.

Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, menjelaskan, “Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat.”

Skema Baru Pemilu Mulai 2029

Dengan adanya putusan ini, Pemilu serentak yang dikenal sebagai “Pemilu lima kotak” tidak lagi berlaku. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menegaskan hal tersebut saat membacakan pertimbangan putusan.

MK memerintahkan agar pemungutan suara untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak terlebih dahulu.

Kemudian, dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan, akan dilanjutkan dengan pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, serta gubernur, bupati, dan wali kota.

Ini berarti, Indonesia akan memiliki dua klaster pemilihan yang terpisah dengan jeda waktu yang cukup signifikan.

Mengapa Pemisahan Pemilu Penting? Implikasi bagi Partai Politik

Salah satu alasan utama di balik putusan MK ini adalah dampak negatif dari jadwal Pemilu yang berdekatan terhadap partai politik. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa rentang waktu yang kurang dari satu tahun antara Pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan Pilkada, serta Pilpres, memiliki implikasi serius.

Menurut Arief Hidayat, jadwal yang padat ini membuat partai politik kesulitan dalam mempersiapkan kader untuk kontestasi. Akibatnya, partai politik cenderung terjebak dalam pragmatisme dan mengabaikan idealisme serta ideologi partai.

“Partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus, dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden,” ujarnya.

Kondisi ini menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik, yang pada akhirnya membuat partai menjadi tidak berdaya menghadapi realitas politik dan kepentingan praktis.

Meminimalisir Praktik Transaksional dan Mendorong Idealisme

Arief Hidayat juga menyoroti bahwa agenda Pemilu yang berdekatan membuka lebar peluang untuk praktik transaksional dalam perekrutan calon jabatan-jabatan politik. Hal ini tentu saja menjauhkan proses Pemilu dari cita-cita yang ideal dan demokratis.

“Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” pungkas Arief.

Dengan pemisahan jadwal Pemilu ini, diharapkan partai politik memiliki waktu yang lebih leluasa untuk melakukan konsolidasi, perekrutan kader berkualitas berdasarkan ideologi, bukan sekadar popularitas atau basis transaksional.

Ini adalah langkah krusial untuk memperkuat demokrasi Indonesia dan memastikan proses politik yang lebih substansial. (*/tur)

Related Articles

Back to top button