Ramai Isu Pemerasan di RS Doris Sylvanus, Pakar Hukum Ingatkan Risiko Menyebar Informasi Tanpa Bukti
PALANGKA RAYA, Kalteng.co – Ramainya unggahan di media sosial akun TikTok @beritakaltengterkini yang menuding seorang wartawan berinisial MH melakukan pemerasan terhadap pejabat RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya.
Meski demikian, hingga kini belum ada bukti yang menguatkan atas tudingan yang beredar secara luas di media sosial tersebut.
Pelaksana Tugas Direktur Utama RSUD Doris Sylvanus, Suyuti Samsul mengaku tidak mengetahui adanya peristiwa seperti yang dibunyian di media sosial. Ia menyebut belum ada laporan atau klarifikasi resmi yang diterima pihak rumah sakit.
“Saya sampai saat ini tidak tahu siapa yang diperas dan siapa yang memeras,” ujar Suyuti saat dimintai tanggapan, Senin (3/11/2025).
Di sisi lain, Ketua Penegak Hukum Rakyat Indonesia (PHRI) yang juga Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kalteng, Suriansyah Halim menilai, peredaran informasi yang belum terverifikasi dapat menimbulkan dampak hukum serius, baik bagi penyebar maupun pihak yang disebut dalam konten.
Menurut Halim, apabila benar terjadi pemerasan, maka pelaku dapat dijerat Pasal 368 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana maksimal sembilan tahun penjara.
Namun, jika dugaan itu tidak didukung bukti dan justru digunakan untuk mencemarkan nama baik seseorang, maka dapat berbalik menjadi pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Kalau konten yang disebarkan ternyata tidak benar, maka bisa termasuk penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 45A UU ITE,” jelasnya.
Halim juga menegaskan, setiap kasus yang berawal dari unggahan di media sosial perlu diuji kebenarannya terlebih dahulu. Ia mengingatkan agar langkah hukum seperti pelaporan pidana dilakukan dengan hati-hati setelah melalui proses klarifikasi dan somasi.
“Penegakan hukum tidak bisa lepas dari niat dan konteks. Kalau tidak ada unsur ancaman atau paksaan, maka kasus seperti ini bisa jadi hanya berkaitan dengan etika profesi, bukan tindak pidana,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpancing isu yang beredar di dunia maya. Ia menilai sikap kritis dan kebiasaan memeriksa kebenaran informasi merupakan kunci untuk mencegah penyebaran hoaks dan fitnah.
“Masyarakat harus belajar memilah informasi. Jangan asal percaya, apalagi ikut menyebarkan. Periksa dulu sumbernya, hormati asas praduga tak bersalah, dan laporkan ke pihak berwenang jika ada konten yang merugikan orang lain,” pesannya.
Polemik ini, menurutnya, menjadi pengingat bahwa ruang digital bukan tempat bebas tanpa batas. Setiap unggahan memiliki konsekuensi, baik etis maupun hukum.
“Karena itu, pengguna media sosial agar lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi di ruang publik digital,” pungkasnya. (oiq)
EDITOR: TOPAN




