Berpolitik menggunakan topeng dengan cepat dapat menggerus kesadaran moral yang bertumpu pada nilai kebenaran dan kejujuran. Saat ini, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal bahkan sulit dilakoni oleh para politisi.
Dalam ketidakjujuran itu, kebenaran menjadi lorong gelap sehingga masyarakat menjadi sulit menilai secara rasional antara kinerja yang baik dan pencitraan. Kelompok elit politik semakin cerdas mengakali nalar publik. Kinerja baik di ruang kekuasaan sudah bukan lagi sebuah target utama dalam kerja-kerja politik. Yang disuguhkan kepada publik hanyalah gimik politik ketimbang prestasi.
Dalam waktu lama, boleh jadi hal ini dapat diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat sehingga dengan cepat memengaruhi kualitas dan standar tuntutan publik. Perjalanan panjang gaya politik yang berfokus pada citra diri dapat menyebabkan seseorang yang terjun ke dalam dunia politik seringkali tidak memiliki kompetensi yang memadai.
Terkadang mereka yang masuk ke dalam dunia politik hanya bermodalkan kepopuleran, keramahan dan kesederhanaan yang semu, yang bertujuan menghidupkan glorafikasi masa semata.
Kedua, melemahnya pemahaman publik untuk membaca masalah dan kebutuhan mendasar dalam konteks pembangunan. Masalah ini bertalian erat dengan pokok persoalan pertama di atas. Tuntutan publik menjadi lebih sederhana, dan bertumpu pada tampilan fisik semata ketimbang kinerja. Masyarakat lebih bersemangat jika pemimpin itu dekat dengan masyarakat, murah senyum, rajin turun ke lapangan, atau selalu hadir jika diundang dalam suatu hajatan tertentu.