Pentingnya Netralitas ASN Dalam Pilkada 2020
DALAM setiap perhelatan pesta Demokrasi, baik itu Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah, isu tentang netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS) selalu menghiasi pembicaraan, regulasi yang memuat aturan yang dimaksudkan sebagai rambu-rambu bagi ASN terkait dengan kontestasi Politik juga lumayan banyak, mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Menteri.
Tulisan ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan yang muncul terkait dengan netralitas ASN, dasar hukum, sanksi, dan bahkan terkait dengan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh ASN terkait dengan keterlibatannya dalam politik (Baca Pilkada).
Peraturan perundangan yang mendasari bahwa ASN tidak boleh terlibat politik praktis
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil; serta Undang-Undang Nomor IO Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang Undang. Surat Menteri PAN-RB No. B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017 hal Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2018, Pileg Tahun 2019, dan Pilpres Tahun 2019, Surat Menteri PAN-RB No. B/36/M.SM.00.00/2018 tanggal 08 Februari 2018 hal Ketentuan bagi ASN yang Suami atau Istrinya menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Calon Anggota Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden, Perjanjian Kerjasama Bawaslu dan KASN No; 0155/K.Bawaslu/HM/02.00/VI/2020 dan No 4/PKS/KASN/6/2020.Tentang Pengawasan Netralitas ASN Dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11 huruf c, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, menyatakan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik, semisal PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang Iain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang Iain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik. PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, visi misi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, maupun keterkaitan Iain dengan bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media online maupun media sosial. PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan. PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
Begitu juga halnya dalam UU No.10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, secara khusus diatur dalam pasal 70 dan 71.
Netralias ASN
Netralitas adalah keadaan dan sikap netral (tidak memihak, bebas), sedangkan terkait netralitas dalam perspektif Pengawas Pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 14 Perbawaslu 6 Tahun 2018 disebutkan “Netralitas adalah keadaan Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun”.
Terkait Netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 dengan mengacu pada pasal 70 dan 71 UU Pilkada, maka perlu dipertegas dan diperjelas pemaknaannya, yakni : 1. Pemaknaan Netralitas ASN berada antara rezim administrasi pemerintahan dan rezim pemilihan kepala daerah, 2. Dalam rezim administrasi pemerintah, setiap Pegawai ASN (a) tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan (b) harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 huruf f jo Pasal 9 ayat (2) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014), 3. Kedua pasal tersebut mengandung prinsip bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN dilakukan berdasarkan pada asas netralitas. Artinya, setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Sebagai suatu pengaturan dalam rezim administrasi pemerintahan, netralitas ASN diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS (PP No. 42 Tahun 2004) dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS (PP No. 53 Tahun 2010). Pasal 4 ayat (15) PP No. 53 Tahun 2010 menggariskan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, dengan cara: (1) terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; (2) menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; (3) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan (4) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Oleh karena soal netralitas ASN berada pada rezim administrasi pemerintahan yang khusus diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014, maka semua penormaan terkait netralitas ASN yang ada di luar UU No. 5 Tahun 2014 seperti UU No. 10 Tahun 2016, merujuk pada penormaan netralitas ASN yang ada di UU No. 5 Tahun 2014, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 10 Tahun 2016. Untuk itu, setiap pelanggaran netralitas ASN sepanjang berkenaan dengan pengaturan pada rezim administrasi pemerintahan diproses di Bawaslu sebagai bentuk pelanggaran hukum lainnya, yang produk hukumnya hanya sebatas rekomendasi untuk ditindaklanjuti instansi yang berwenang agar memberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peran Bawaslu
Dalam rezim pemilihan kepala daerah, Bawaslu berperan dalam memastikan terpeliharanya netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur tentang netralitas ASN di dalam UU No. 10 Tahun 2016, yakni: 1. Pasal 70 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan: a. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; b. aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan. 2. Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, menyebutkan “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye”.
Subjek hukum dan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) hanya dibatasi pada tahapan masa kampanye pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Sanksi atas pelanggaran ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 adalah: 1. Bagi pasangan calon yang melanggar ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon (diskualifikasi) oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, dan sanksi pidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 189 UU No. 10 Tahun 2016. 2. Bagi Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perudangan-undangan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016, dan sanksi pidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 188 UU No. 10 Tahun 2016 Jo Pasal 187 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016 dalam hal “tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71”.
Nah, kenapa ASN harus Netral? tentu dimaksudkan untuk menjamin Profesionalitas, menjamin Pelayanan Publik yang adil, menghindari penyalahgunaan jabatan/ kewenangan, menghindari konflik dan perpecahan, menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok, serta agar Birokrasi tetap terkontrol, disamping itu, netralitas ASN merupakan tanggung jawab sebagai pelayan publik, dalam hal ini untuk menjaga marwah, ASN tidak terpengaruh pada kepentingan orang perorang atau kelompok tertentu Sebagai pengayom masyarakat, ASN tidak terpengaruh sirkulasi kekuasaan politik, disisi lain dilihat dari aspek kewenangan dan kekuasaan ASN dengan Kewenangan dan Kekuasaan yang dimilikinya sangat rentan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi, serta berpihak pada salah satu pasangan calon.
Semoga dalam menyongsong perhelatan pesta demokrasi Pilkada serentak 2020, dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, dan juga Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur, netralitas ASN benar-benar ditunjukan. (Dihimpun dari berbagai sumber). (*)
Penulis Adalah Ketua Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah