OPINI

Virus Korona: Sang Pengendali Udara?

ANDA kenal Aang? Penggemar kartun animasi yang ditayangkan jaringan televisi Nickelodeon, Avatar: The Last Airbender, pasti hafal dengan karakter rahib kecil yang punya tanda panah di kepalanya. Serial ini menceritakan petualangan Aang, seorang pengendali udara (airbender), dari awal ditemukan dalam bongkahan es hingga akhirnya mampu menguasai dan mengendalikan tiga elemen: tanah, air, dan api.

Virus korona SARS-CoV-2, penyebab pandemi Covid-19, dalam rentang waktu setengah tahun ini juga sudah menjadi ’’pengendali udara’’ hingga berhasil mengacaukan tatanan sistem kehidupan manusia. Dengan kemampuannya beradaptasi, virus mematikan tersebut mampu bereplikasi dalam tubuh, lalu bertransmisi dari satu individu (pasien) ke individu lain (orang sehat) melalui droplet. Yang menarik, akhir-akhir ini diduga virus korona mampu berpindah melalui airborne transmission.

Jika Aang dengan kemampuannya digambarkan sebagai tokoh protagonis, virus korona mungkin berlaku sebaliknya. Keberadaan virus diartikan sebagai sebuah ancaman yang perlu dikendalikan. Dengan demikian, prediksi bahwa virus sanggup bertahan lebih lama di udara merupakan tantangan baru dalam penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, seperti Aang yang menguasai empat elemen, apakah virus korona juga bisa menular melalui air? Bagaimana jika virus mengontaminasi tanah yang pada akhirnya juga masuk dalam sumber air?

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Cara Penularan Virus Korona

Badan Kesehatan Dunia WHO pada Maret 2020 telah menyatakan bahwa sumber utama penularan virus secara langsung adalah lewat respiratory droplet (partikel cair dengan ukuran > 5–10 mm yang keluar saat bersin, batuk, dan bicara) dan masuk melaui mulut, hidung, atau mata orang lain dalam kontak jarak dekat (< 1–2 m). Memakai masker dan menjaga jarak merupakan alternatif tindakan pencegahan yang direkomendasikan WHO untuk masyarakat.

https://kalteng.co

Penularan secara tak langsung dapat juga melalui benda-benda yang terkontaminasi virus (fomite transmission). Dengan pola-pola penularan seperti ini, hampir 13 juta penduduk bumi telah terinfeksi virus korona, tapi belum ada tanda-tanda pandemi Covid-19 akan berakhir.

Cepatnya persebaran wabah memicu para ilmuwan mencari tahu kemungkinan penularan virus selain melalui droplet. Dan minggu ini WHO mengeluarkan laporan ilmiah terbaru yang menyatakan bahwa virus korona juga dapat, meski penelitian lebih lanjut masih berlangsung, ditularkan melalui jalur lain, airborne transmission.

Penularan melalui udara (airborne transmission) terjadi karena virus yang terperangkap dalam microdroplet/nucleidroplet atau aerosol (partikel cair berdiameter < 5 mm) akan bertahan lebih lama di udara dan bisa terbawa dalam jarak yang lebih jauh (> 1–2 meter). Kondisi ini bisa muncul karena berbagai penyebab, baik di layanan fasilitas kesehatan maupun tempat tinggal.

Prosedur medis, seperti tindakan intubasi, pemasangan ventilator, trakeostomi, nebulisasi, dan bronkoskopi, yang menghasilkan partikel aerosol berisiko menjadi media penularan. Ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk memudahkan virus bertransmisi dan masuk ke saluran pernapasan. Proses evaporasi atau penguapan menjadikan respiratory droplets akan berubah menjadi partikel lebih kecil, microdoplets.

Penelitian memang membuktikan bahwa virus korona bisa ditemukan dalam feses, darah, dan air kencing milik pasien Covid-19. Sempat ada kekhawatiran bahwa penemuan virus dalam sampel biologis seperti ini akan mengontaminasi air dan tanah serta menjadi media penularan baru. Namun, para ahli sampai saat ini sepakat bahwa virus tidak mampu bereplikasi di media tersebut sehingga tidak akan menjadi sumber transmisi penyakit.

Ventilasi Alami dan Kontrol Diri

Munculnya peluang virus korona ditularkan melalui media udara menjadikan kita lebih waspada. Jika di rumah sakit pencegahan infeksi bisa memanfaatkan ruangan bertekanan negatif (negative pressure room), masyarakat sebenarnya juga dapat memanfaatkan ventilasi alami di rumah. Tentu dengan segala keterbatasannya.

Prinsip utama ventilasi alami dalam pencegahan airborne transmission adalah memanfaatkan udara segar untuk pernapasan sekaligus untuk mendilusi dan mengeluarkan virus, kuman, atau polutan. Hal-hal sederhana yang perlu diperhatikan dalam mendesain ventilasi alami antara lain adalah arah dan tekanan angin. Pintu, jendela, atau lubang ventilasi udara sebaiknya ditempatkan secara optimal sehingga tercipta aliran (flow) dari arah angin masuk (windward), yang biasanya dominan di muka, dan keluar melalui sisi leeward yang dapat ditempatkan di samping, belakang, atau di atas bagian rumah.

Hal lain yang perlu tetap dijadikan acuan dalam pencegahan infeksi virus korona adalah jaga jarak, baik physical maupun social distancing. Salah satu faktor keberhasilan Jepang menurunkan angka kasus baru Covid-19 adalah anjuran untuk warganya menghindari 3C, yaitu closed space, crowded place, dan close-contact. Ruangan tertutup dengan siklus ventilasi yang buruk akan semakin memudahkan virus tersebar. Kerumunan orang, apalagi tanpa menggunakan masker, sangat berpotensi menjadi klaster baru kasus Covid-19. Dan dengan pertimbangan bahwa virus rentan bertransmisi antarmanusia dalam jarak dekat, kebijakan jaga jarak tetap harus jadi perhatian bersama.

Perlu niat tulus dan usaha bersama dalam penanganan wabah Covid-19. Masyarakat perlu diberi edukasi lebih banyak tentang Covid-19. Informasi yang benar tentang model terbaru penularan virus korona dan langkah pencegahan infeksi harus disampaikan kepada masyarakat. Mereka tidak perlu ’’menutup’’ diri supaya terhindar dari virus korona.

Hingga nanti saat vaksin antivirus sudah ditemukan, pandemi Covid-19 mungkin bisa berakhir. Tapi, keberadaan virus korona juga barangkali masih akan ada di sekitar kita. Mereka mungkin tidak lagi menjadi ’’penguasa udara’’. Kita, dengan usaha dan doa, yang seharusnya menguasai (mengatur) elemen-elemen bumi untuk kesejahteraan kehidupan alam serta isinya. (*)

*) Wiwin Is Effendi, Dosen Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mahasiswa Graduate School of Medicine, Kobe University

Related Articles

Back to top button