PALANGKA RAYA-Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Kebakaran Lahan Kalteng yang sudah disetujui
bersama oleh eksekutif dan legislatif tinggal menunggu pengesahan oleh Gubernur
Kalteng Sugianto Sabran. Raperda tersebut sudah dikirimkan ke Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri). Sementara peraturan gubernur (pergub) untuk mendukung
penerapan perda nanti sedang digodok Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng Esau
mengatakan, saat ini pergub berkenaan raperda tersebut sedang proses penggodokan.
Ia menyebut, poin-poin penting yang diatur dalam pergub nanti berhubungan
dengan larangan membakar hutan maupun lahan.
“Bagi masyarakat adat yang masih menggunakan cara membakar dalam
proses membersihkan lahan, harus diatur sedemikian rupa sehingga terkendali dan
tidak menyebabkan bencana kebakaran dan asap. Inilah poin penting pada pergub
nantinya,” kata Esau kepada Kalteng Pos, kemarin (16/7).
Dalam penggodokan pergub ini, pihak adat dalam hal ini Dewan Adat
Dayak (DAD) Kalteng mengaku sudah dilibatkan.
Sekretaris Umum (Sekum) DAD Kalteng Yulindra Dedy menyebut, dalam
raperda yang telah disepakati itu memang tidak membahas secara jauh soal kewenangan
damang atau mantir. Karena itu, perihal kewenangan damang dan mantir akan diatur
lebih lanjut pada pergub. Dalam pergub ini akan tertuang teknis berkenaan hal
itu.
Saat penyusunan raperda ini pada 2019 lalu, anggota DPRD Kalteng
melakukan uji publik. DAD bersama para tokoh adat juga hadir dalam kesempatan
itu. Untuk saat ini, lanjut dia, pihaknya sudah membentuk tim guna memberikan
masukan dan pertimbangan kepada tim pemerintah yang menyusun pergub.
“Agar aspek-aspek kearifan lokal nanti sepenuhnya terpenuhi dalam
pergub yang akan ditetapkan oleh gubernur nanti,” ucap pria yang juga menjabat
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kalteng ini.
Pihaknya memastikan bahwa dalam penyusunan pergub ini DAD akan ikut memantau
demi memastikan bahwa pergub ini nantinya memberikan perlindungan kepada
masyarakat, khususnya petani peladang di Kalteng.
“Kami pastikan terlibat. Pada 25 Juli nanti kami akan undang damang
se-Kalteng untuk datang ke Kota Palangka Raya, membahaa bersama terkait materi-materi
apa saja yang akan diatur dalam pergub itu,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng H Fahrizal Fitri mengatakan,
pemerintah kabupaten/kota perlu menginventarisasi wilayah hukum adat
masing-masing. Bukan provinsi yang membuat keputusan tersebut, karena merupakan
kewenangan kabupaten/kota.
“Sudah ada tujuh kabupaten/kota yang mengusulkan untuk
mendapatkan pengakuan wilayah hukum adat. Kabupaten Mura, Barsel, Pulpis, Katingan, Gumas,
Kapuas, dan Batara,” terangnya.
Menurut Fahrizal, dalam waktu dekat pemprov bersama pemerintah
kabupaten/kota akan melakukan rapat koordinasi untuk mengingatkan lagi perihal
penetapan wilayah hukum adat.
“Kami memprioritaskan masyarakat adat,” pungkasnya.
Selasa (14/7) lalu, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas N Hartono berpendapat,
meskipun pemprov menyatakan masyarakat adat dapat melakukan pembukaan lahan
dengan cara membakar, tapi kenyataannya hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh
masyarakat petani peladang tradisional.
Karena menurut Dimas, prasyarat yang harus dipenuhi oleh para petani
peladang tradisional untuk mendapatkan izin membuka lahan dengan cara membakar,
masih cukup berat.
“Selain itu, tidak ada aturan teknis yang jelas menyebutkan berapa
lama proses mendapatkan izin itu,” terangnya.
Selain itu, terdapat klausul aturan yang menyatakan setiap orang hanya
dapat membuka lahan pada wilayah masyarakat hukum adat sesuai dengan hukum dan
peraturan adat yang telah ditetapkan dengan rekomendasi dari mantir adat yang
berada wilayah tersebut. Terdapat dua aturan hukum yang harus dipenuhi, yaitu
hukum formil dan peraturan di dalam
masyarakat hukum adat.
Yang menjadi pertanyaan Dimas, apakah pihak pemprov sudah menentukan
wilayah mana saja yang sudah ditetapkan sebagai wilayah dari masyarakat hukum
adat yang sesuai dengan landasan hukum? Sebab, tutur Dimas, secara bahasa
hukum, aturan hukum dapat diartikan sebagai hukum yang berlaku di wilayah Indonesia.
Masalah lain yang perlu diperhatikan pemerintah dalam peraturan
gubernur nanti adalah soal membuka lahan hanya pada wilayah yang bukan
bergambut atau hanya dibolehkan pada tanah mineral.
Menurutnya, ini pun masih menjadi persoalan. Muncul pertanyaan, apakah
pemerintah sudah memberikan informasi dan data menyeluruh kepada masyarakat terkait wilayah mana saja
yang bergambut dan tidak bergambut di Kalteng.
“Hal seperti ini harus diperjelas lagi agar para petani tidak
dipersoalan di kemudian hari karena ketidaktahuan mereka terkait wilayah yang
boleh dan tidak boleh dibuka lahan dengan cara membakar,” pungkas Dimas. (sja/nue/abw/ce/ram)