AKHIR PEKANBeritaMETROPOLISOPINIUtama

Mengarang Dunia

Pernah membaca pendapat bahwa senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara besar justru tak akan dipakai dan malah akan menghindarkan kita dari perang besar di antara negara-negara itu.

DENGAN kata lain, mereka memakainya untuk saling mengancam dalam diam. Kalau kamu menyerang negaraku, aku bisa hancurkan kamu seketika dengan nuklir. Kita sama-sama akan hancur, apa untungnya untuk kita yang sama-sama memiliki senjata pemusnah massal?

Perang besar di antara negara pemilik senjata nuklir akhirnya berputar-putar sebagai simulasi perang. Semakin mereka menjadikannya simulasi, yang makin lama makin canggih, dan senjata-senjata terbaru terus diciptakan, dianggap semakin kecil kemungkinannya perang sungguhan akan terjadi.

Di satu sisi, jika memang kenyataannya seperti itu, membangun dunia di awang-awang tentu ada baiknya. Daripada perang betulan, lebih baik cuma persiapan tanpa akhir, bukan? Tapi, benarkah kenyataannya sesederhana itu?

Saya sering membayangkan bahwa angka-angka pertumbuhan (atau kebangkrutan) ekonomi negara, pada titik tertentu, juga hanyalah dunia simulasi. Berapa pendapatan per kapita orang Indonesia? Sekitar 62 juta rupiah per tahun. Kalau tahun depannya angka itu menjadi 72 juta rupiah, kita membangun dunia awang-awang seolah semakin makmur.

”Semakin makmur” merupakan dunia dalam rekaan. Kenyataannya bisa jauh dari itu. Segelintir orang bisa jadi memang semakin makmur berlipat-lipat, sementara sebagian besar semakin megap-megap dan menjerit dengan perut melilit.

Angka itu bisa mengaburkan, dan angka yang tumbuh itu bisa menipu, seolah semua tumbuh. Bisa membuat kita lupa bagaimana rasanya terperosok ke lumpur.

Hal yang sama terjadi pada orang yang kekayaannya tumbuh berlipat-lipat karena harga saham perusahaannya naik gila-gilaan (atau sebaliknya), tak selalu berhubungan dengan harga nyata perusahaannya jika dipreteli. Apalagi jika dihubungkan dengan kesejahteraan (atau kesengsaraan) buruh-buruhnya.

Sialnya, kita tak bisa menghindarkan diri dari kehidupan semacam itu, bahkan ke perkara sehari-hari. Kita mengirim anak ke sekolah, mengajari berbagai hal, dari pendidikan formal hingga les ini dan les itu, sebab kita melakukan simulasi hidup anak kita di masa depan.

Karena kita membayangkan ia akan bermain musik di panggung, atau sekadar main musik di depan teman-temannya kelak, kita mengirimnya les piano. Kita membayangkan ia menjadi warga global, kita mengusahakan ia fasih berbahasa asing.

Mengarang masa depan semacam itu memang bisa membantu kita membuat persiapan (seperti negara membeli senjata karena membayangkan perang). Tapi, bayangkan kita menciptakan hubungan antara benda dan maknanya dalam kepala kita bahwa para pengemis dan gembel di jalanan adalah, ”karena mereka tak sekolah, makanya kamu harus rajin biar enggak seperti mereka.”

Apakah sekolah, pendidikan secara umum, sekadar menghindarkan seseorang dari menjadi pengemis atau gembel? Apakah menjadi pengemis atau gembel benar-benar sebagai problem pendidikan?

Tulisan ”awas anjing galak” bisa dibaca sebagai ”jangan coba-coba maling, kecuali mau digigit anjing”. Sama persis seperti keberadaan tulisan ”tempat ini diawasi kamera CCTV” di gedung-gedung, seperti ancaman bahwa tindakan (jahat) Anda akan terekam.

1 2Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button