BeritaFAMILYKESEHATAN

Divonis Menopause Dini, Wanita 31 Tahun Pilih Berdamai

KALTENG.CO-Menopause pada wanita biasanya terjadi pada usia di atas 40. Tapi apa jadinya jika momok yang paling menakutkan bagi banyak wanita ini datang lebih awal.

Kondisi ini terjadi pada Caroline Lazaro. Usianya baru 31 tahun, tetapi sudah divonis menopause. Kondisi ini benar-benar membuatnya down, terlebih usia pernikahannya baru berusia enam bulan.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Berbagai ikhtiar agar tetap bisa memperoleh momongan, sejauh ini tetap saja belum membuahkan hasil. Sampai akhirnya Caroline dan suaminya memilih berdamai dan lebih mencintai diri dan kehidupannya saat ini.

Betapa mahalnya “harga” yang harus dibayar manusia untuk menjadi “normal” dalam perspektif masyarakat. Pasangan yang sudah menikah, tapi tak kunjung punya buah hati seolah layak menjadi bahan omongan. Pedas. Menyakitkan. Padahal, ada begitu banyak alasan medis yang melatarinya.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Kaum hawa menganggap menopause sebagai momok. Kondisi alami yang datang seiring menuanya usia itu sering kali hadir bersamaan dengan tekanan batin.

Itu terjadi karena lingkungan selalu menginginkan kaum hawa tampil dalam performa terbaiknya. Yakni, masa-masa produktif, ketika masih subur.

Maka, ketika yang alamiah saja membuat tertekan, bayangkan posisi Caroline Lazaro. Perempuan 31 tahun itu mendapati dirinya bergejala menopause dini.

Kenyataan tersebut harus dia hadapi setelah melakukan serangkaian konsultasi dengan delapan dokter di berbagai lokasi. Juga setelah melakoni pengecekan cadangan sel telur atau tes anti-mullerian hormone (AMH). Padahal, tujuannya waktu itu hanyalah ingin segera punya momongan setelah menikah.

Usia Carol masih 29 tahun saat mendengar vonis low AMH pada 2020. Ketika itu, dia baru menjalani satu semester pernikahan. ’’Jujur kayak kesamber geledek sih. Baru nikah enam bulan sudah dibilangin kasusnya parah. Sempat down,” ungkapnya akhir Juli lalu.

Pada saat itu juga, dokter menyarankan Carol segera menjalani in vitro fertilization (IVF).

Vonis itu sempat membuat Carol menarik diri dari lingkungan. Dia malu mengakui kondisinya. Namun, dukungan suami dan keluarga membuat Carol kuat.

Lambat laun, dia mulai membagikan kisahnya lewat media sosial. Sebab, ternyata ada banyak wanita lain di Indonesia yang kondisinya sama dengannya. ’’Ada lho bahkan yang sudah berhenti menstruasi di usia 23 dan 19 tahun,” ungkapnya.

’’Rerata menstruasi orang dengan low AMH itu lancar, tidak pernah telat sehari pun. Jadi, memang hampir tanpa gejala, keluhan, atau indikasi. Makanya, usia 20-an lebih baik cek,” imbuh Carol.

Tidak mau larut dalam kesedihan, Carol dan suami segera menjajaki peluang untuk tetap bisa menimang buah hati. Pandemi Covid-19 memaksa Carol dan suami berkonsultasi jarak jauh via Zoom.

Ada banyak dokter ahli yang mereka ’’datangi”. Ada yang di London, California, Singapura, dan Malaysia.

Pada Desember 2021, mereka terbang ke Spanyol untuk melakoni ovarian rejuvenation platelet rich plasma (OVA-PRP). Itu merupakan teknologi medis untuk meremajakan indung telur dengan suntikan plasma darah.

Tindakan itu pun harus dibarengi dengan prosedur IVF demi memperoleh sel telur yang berkualitas. Sebab, efek OVA-PRP hanya bertahan maksimal enam bulan.

Ditemani sang mama, Carol menjalani IVF di Malaysia tiga kali nonstop dalam tiga bulan berturut-turut. Selama itu, dia mendapatkan tak kurang dari seratus suntikan dengan dosis supertinggi. Sayang, IVF pertamanya gagal total.

Carol mengulang IVF untuk kali kedua. Dua telur dari proses tersebut berkualitas bagus dan lanjut menjadi embrio. Namun, kromosomnya ternyata tidak bagus. Maka, IVF kedua pun kembali gagal.

IVF ketiga menerbitkan harapan Carol. Satu sel telur yang dihasilkan tumbuh menjadi embrio yang sehat dan kini masih tersimpan di Malaysia.

’’Nggak mau buru-buru transfer embrio karena tahu lawanku adalah waktu. Kalau buru-buru ditransfer, jika mau punya anak kedua, takutnya sudah kehabisan sel telur,” terangnya.

Carol kemudian menjalani program OVA-PRP lagi. Agustus, dia menjadwalkan IVF keempat dan kelima. Dia berharap, itu menjadi IVF-nya yang terakhir.

’’I have to be gentle to myself. Sekarang aku lebih mengapresiasi dan sayang sama diri sendiri yang sudah berjuang sampai sejauh ini,” tandasnya (*/tur)

Related Articles

Back to top button