
KALTENG.CO-Wacana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, menuai kontroversi. Usulan yang diajukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025 ini langsung mendapatkan penolakan keras dari berbagai pihak, salah satunya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Penolakan Keras dari Aktivis HAM: Mencederai Amanat Reformasi














Usman Hamid dengan tegas menyatakan bahwa usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan mencederai amanat reformasi. Menurutnya, reformasi mengamanatkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto. Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu hingga kini masih menanti keadilan yang tak kunjung datang.


“Oleh karena itu, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar Usman kepada wartawan pada Rabu (23/4).
Lebih lanjut, Usman Hamid menekankan bahwa wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tanpa mempertimbangkan catatan kelam sejarah berupa kekerasan negara yang sistematis, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur pada masanya, sama saja dengan menghapus dosa-dosa masa lampau dan memutarbalikkan sejarah.



“Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” tegasnya.
Fokus pada Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Era Soeharto
Usman Hamid berpendapat bahwa alih-alih mengusulkan gelar pahlawan untuk Soeharto, pemerintah seharusnya lebih fokus pada menunaikan komitmen untuk mengusut tuntas berbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi selama era kepemimpinan Soeharto.
Negara sendiri telah mengakui berbagai peristiwa kelam tersebut melalui berbagai TAP MPR di awal reformasi hingga pernyataan Presiden pada Januari 2023.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum tuntas diusut meliputi:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985
- Peristiwa Tanjung Priok 1984
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999
- Kejahatan kemanusiaan di Aceh, Timor Timur, Papua
- Kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum diusut tuntas
Respon Pemerintah: Tidak Ada Sosok yang Sempurna
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat setelah Kemensos dan TP2GP mengajukannya. Menanggapi hal ini, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan usulan tersebut.
“Semua punya jasa. Tidak mudah menjadi Presiden dengan jumlah penduduk yang demikian besar. Permasalahan-permasalahan yang selalu muncul dihadapi itu tidak ketahui. Jadi menurut saya tidak ada masalah. Tapi kita belum membahas itu secara khusus,” tegas Prasetyo di kantor Kemensetneg, Jakarta, Senin (21/4).
Pernyataan Mensesneg ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan final terkait wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Namun, respons ini juga memicu perdebatan lebih lanjut mengenai pertimbangan sejarah dan keadilan dalam pemberian gelar kehormatan tertinggi bangsa tersebut.
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menghadirkan dilema besar. Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Soeharto memiliki peran penting dalam pembangunan Indonesia selama masa kepemimpinannya.
Namun, di sisi lain, bayang-bayang pelanggaran HAM berat dan praktik KKN yang merajalela pada era tersebut menjadi catatan kelam yang tidak bisa diabaikan.
Polemik ini menunjukkan betapa pentingnya refleksi sejarah yang jujur dan komprehensif. Keputusan terkait gelar pahlawan nasional seharusnya mempertimbangkan seluruh aspek sejarah, termasuk keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.
Amanat reformasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM seharusnya menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan ini.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Soeharto layak mendapatkan gelar pahlawan nasional, ataukah luka sejarah pelanggaran HAM berat harus menjadi pertimbangan utama? Mari kita terus kawal isu ini demi keadilan dan kebenaran sejarah bangsa. (*/tur)