OPINI

Ancaman Resesi-Masalah Serapan Anggaran

’’Yang bisa diharapkan saat ini (…) hanya satu (…), yaitu belanja pemerintah. Karena itu, jangan sampai ada ngerem.”

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

PERNYATAAN di atas dikeluarkan Presiden Joko Widodo ketika memberikan arahan kepada para gubernur di Bogor, Jawa Barat, pada 16 Juli 2020. Presiden sadar bahwa resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 berada di depan mata, padahal investasi tidak bisa diandalkan.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Presiden menilai bahwa saat ini hanya anggaran pemerintah yang dapat menjadi tumpuan untuk menggerakkan roda perekonomian. Maka, anggaran ini tidak boleh mengendap.

Sejatinya, ini adalah kali kesekian presiden menekankan isu penyerapan anggaran. Sebelumnya, presiden dua kali menegur keras menterinya karena tidak gesit membelanjakan anggaran (18/6 dan 7/7).

Fakta presiden sudah berkali-kali marah, tapi situasi tidak kunjung berubah menunjukkan ada problem fundamental yang belum ketemu titik masalahnya.

Mungkin presiden sudah menerima laporan bahwa banyak birokrat yang takut terbentur masalah hukum dalam proses penyerapan anggaran. Tapi, boleh jadi dia menilai seharusnya itu tidak boleh lagi menjadi problem. Regulasi sudah tersedia, jajarannya dan lembaga terkait juga telah mengeluarkan sederet kebijakan dan pedoman yang bernuansa menenteramkan.

Misalnya, lahirnya Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dalam Menghadapi Covid-19. Atau, untuk konteks penyerapan anggaran via pengadaan barang jasa (PBJ), birokrat juga sudah punya acuan regulasi untuk penanganan keadaan darurat (Perpres 16/2018, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No 13 Tahun 2018). Belakangan, LKPP pun sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 3 Tahun 2020 untuk Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam Rangka Penanganan Covid-19.

KPK juga sudah berinisiatif menenangkan hati birokrat yang terlibat pengadaan dengan SE No 8 Tahun 2020. KPK menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memakai kacamata kuda dalam menindak.

Selain aspek harga, KPK akan melihat kualitas serta konteks pandemi yang memungkinkan mahalnya harga yang didapatkan. KPK bahkan menyatakan, sepanjang tidak melakukan perbuatan curang, bersekongkol, menerima suap atau gratifikasi, birokrat akan aman.

Jaksa agung pun mengambil langkah serupa dengan mengeluarkan Instruksi No 6 Tahun 2020 dan SE No 7 Tahun 2020. Intinya, proses hukum administrasi akan dikedepankan daripada pidana.

Lalu, mengapa birokrat masih memilih ekstra hati-hati dalam melaksanakan belanja pemerintah?

SE Horor

Selain ada SE yang meneduhkan hati di atas, terdapat SE horor, yakni SE 02/G/Gs.2/04/2020 yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung tentang Pedoman Pendampingan Hukum Keperdataan PBJ dalam Keadaan Darurat.

SE itu mengirimkan pesan yang berseberangan dengan SE LKPP dan SE KPK. Misalnya, mengutip suatu putusan peradilan di mana ada pejabat pembuat komitmen (PPK) yang melakukan pengadaan di situasi normal dan divonis bersalah.

Sebab, PPK tersebut tidak memiliki estimasi harga pasar terhadap barang yang ingin dibeli. PPK langsung menerima harga yang disodorkan penyedia. Padahal, belakangan, harga tersebut dinilai penegak hukum lebih mahal daripada harga pasar.

Masalahnya, kutipan tersebut dilakukan tanpa menguraikan ada tidaknya niat dan pemufakatan jahat antara PPK dan penyedia. Juga tanpa menampilkan bukti-bukti kuat bahwa misalnya memang ada kolusi, suap, kickback, atau gratifikasi. Padahal, SE KPK di atas menegaskan untuk menggunakan hal tersebut sebagai patokan.

SE Jamdatun itu juga mengirimkan pesan yang bertolak belakang dengan substansi SE LKPP karena LKPP membolehkan PPK untuk menunjuk penyedia sekalipun belum memiliki estimasi harga. LKPP juga membolehkan PPK menggunakan informasi dari penyedia dalam membuktikan kewajaran harga.

Pesan kontrakdiktif itu aneh karena sebenarnya SE LKPP di-copy paste di bagian awal SE Jamdatun tersebut. Dengan kejanggalan itu, wajar jika PPK khawatir melaksanakan pengadaan. PPK takut barang/jasa yang mereka peroleh belakangan dinilai aparat penegak hukum (APH) lebih mahal, lalu dianggap merugikan negara. Kemudian dengan mudahnya ia masuk kualifikasi korupsi tipe merugikan keuangan negara (pasal 2 dan/atau 3 UU Tipikor).

Pasal Karet

Sejatinya, SE Jamdatun itu barulah penyebab masalah. Adapun akar masalahnya, keberadaan kedua pasal di atas yang dinilai sebagai ’’pasal karet”.

Ditinjau dari konsep hukum standar pembuktian, dua pasal itu memang bermasalah. Pasal tersebut adalah delik pidana, tapi malah tidak membadankan standar pembuktian hukum pidana yang bersifat ’’beyond reasonable doubt’’. Pasal itu justru membadankan standar pembuktian hukum administrasi dan perdata berupa ’’more likely than not”.

Akibatnya, kesalahan administrasi dan keperdataan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana sebagai korupsi tipe merugikan keuangan negara (Wibowo, 2015, 2017).

Karena itu, ada pakar yang menilai pasal tersebut sebagai ’’Pasal Keranjang Sampah” (Hieriej, 2015). Bahkan, sarjana hukum luar negeri juga mengungkapkan keheranannya dan mengkritik konsep dan penerapan pasal itu (Butt, 2009).

Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah dua kali mengeluarkan putusan guna meningkatkan standar pembuktian pada pasal tersebut (tahun 2006 dan 2016). Sayang, sebagian hakim Mahkamah Agung (MA) memilih menghindari putusan MK di atas.

MA kemudian malah mengeluarkan SE No 7 Tahun 2012 yang salah satu substansinya tidak sejalan dengan putusan MK di atas. Implikasi lanjutannya adalah aparat kepolisian-kejaksaan akan menyesuaikan dengan paradigma hakim di lingkup MA; melanjutkan paradigma lama yang mencampuradukkan kesalahan administrasi dan perdata sebagai kesalahan (Wibowo, 2017).

Maka, SE Jamdatun dan paradigma penegak hukumlah yang menjadi sumbatan masalah penyerapan anggaran. Hendaknya presiden mengatasi masalah tersebut dengan berkonsultasi ke MA dan menginstruksi kejaksaan dan kepolisian untuk mengadopsi kerangka berpikir putusan MK. Hal itu perlu dilakukan segera sebagai salah satu langkah antisipasi resesi. (*)

Richo Andi Wibowo, Dosen FH UGM dengan minat riset kontrak pemerintah dan pencegahan patologi birokrasi

Related Articles

Back to top button