BeritaNASIONAL

Bencana Sumbar Dipicu Eksploitasi: Stop Saling Tuding! WALHI Tagih Tanggung Jawab Seluruh Elemen Pemerintah

KALTENG.CO-Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat angka korban jiwa pasca bencana yang melanda Sumatera telah mencapai angka tragis 916 jiwa.

Menanggapi tingginya jumlah korban, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersuara lantang, menegaskan bahwa pihak yang harus memikul tanggung jawab penuh atas bencana ekologis ini adalah pemerintah dan korporasi perusak lingkungan.


Eksploitasi yang Dibebaskan, Nyawa yang Melayang

Direktur WALHI Sumatera Barat (Sumbar), Wengki Purwanto, dalam wawancaranya (6/12) menyatakan bahwa bencana ekologis yang terjadi adalah akibat akumulasi dari eksploitasi kawasan hutan yang seolah dibiarkan selama bertahun-tahun. Eksploitasi ini melibatkan korporasi, baik yang berizin maupun ilegal.

“Pandangan WALHI memang yang paling bertanggung jawab atas bencana ekologis sini adalah pemerintah, termasuk di dalamnya itu pelaku usaha. Pemerintah yang kami maksud adalah pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tidak hanya di level eksekutif, termasuk juga legislatif,” tegas Wengki Purwanto.

Menurut WALHI, nyawa yang melayang adalah korban dari kegagalan sistemik, di mana pemerintah dianggap gagal melakukan tugas vitalnya, yaitu:

  • Pengawasan ketat terhadap korporasi yang merusak lingkungan (legal maupun ilegal).
  • Pelaksanaan tugas untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana.
  • Antisipasi dan mitigasi dini terhadap potensi bencana ekologis (banjir dan longsor).

Gagal Paham Bencana dan Upaya “Cuci Tangan”

Wengki Purwanto menyoroti bahwa ironisnya, bencana yang paling banyak terjadi di Sumatera adalah jenis bencana ekologis. Namun, saat kerusakan dahsyat terjadi, yang muncul bukan keseriusan dalam mengambil tanggung jawab, melainkan upaya “cuci tangan” dan saling lempar kesalahan antarpihak.

“Yang berkembang akhir-akhir ini kan seperti mereka berebut cuci tangan, bukan berebut mengambil tanggung jawab atas semua yang terjadi… Seakan mereka berbalas pantun, satu menyebut tidak ada lagi izin yang kemudian di daerah menyebut ini izin tetap diberikan begitu,” sesalnya.

Bencana yang terjadi di Sumatera, khususnya di Kabupaten Agam, adalah puncak dari krisis ekologis yang telah berlangsung sejak lama. Di Agam sendiri, yang mencatat 172 korban jiwa, kerusakan dahsyat ini berakar dari:

  • Penebangan hutan secara masif sejak era 80-an hingga 2000-an untuk perkebunan monokultur kelapa sawit.
  • Alih fungsi lahan yang sangat masif di kawasan hulu, dimulai dengan pengambilan kayu-kayu dalam jumlah besar.

WALHI menilai Pemerintah Daerah Sumbar secara spesifik telah gagal memberikan perlindungan yang memadai kepada masyarakat Agam dari dampak alih fungsi lahan ini.


DPR Mendesak Rehabilitasi Hutan, Bukan Sekadar Infrastruktur

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Alex Indra Lukman, ikut angkat bicara. Ia menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan (Kemenhut) adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk segera melakukan pemulihan di kawasan hutan Sumatera yang sudah rusak.

Alex menekankan bahwa rehabilitasi pasca bencana tidak boleh berorientasi semata pada perbaikan infrastruktur jalan atau bangunan yang rusak.

“Hutan juga harus direhabilitasi. Jangan sampai infrastruktur yang rusak direhabilitasi, direkonstruksi (tapi kawasan hutan dibiarkan),” tegasnya.

Jika pemerintah menyebut bencana dahsyat ini diawali oleh Siklon Tropis Senyar, maka siklon serupa berpotensi datang kembali. Oleh karena itu, kesiapan lingkungan dan masyarakat harus dipastikan. Alex memperingatkan, jika kawasan hutan dibiarkan rusak tanpa rehabilitasi, maka bencana dahsyat serupa hari ini pasti akan terulang.

“Untuk satu nyawa, itu tidak pernah bisa kita nilai. Apalagi, dengan sedemikian banyaknya (korban) yang sekarang,” tutupnya, menekankan betapa pentingnya pemulihan ekosistem demi menyelamatkan nyawa di masa depan. (*/tur)

Related Articles

Back to top button