Utama

Kebijakan Agraria Seharusnya Mengikuti Kearifan Lokal

PALANGKA RAYA-Kalteng dipilih sebagai kawasan food estate atau pusat pengembangan tanaman pangan oleh Presiden Joko Widodo. Tepatnya di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Di dua kabupaten itu telah tersedia 165.000 hektare lahan potensial. 85.500 hektare merupakan lahan fungsional yang sudah berproduksi tiap tahunnya. Sementara, 79.500 hektare sudah berupa semak belukar.

Proyek yang digadang-gadang akan memperkuat ketahanan pangan di Indonesia ini tak lepas dari kritikan beberapa pihak yang kontra.

Pantau Gambut yang merupakan koalisi dari 21 organisasi masyarakat sipil yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia menyebut, proyek ini justru akan merugikan masyarakat Kalteng ke depan. Mereka berkaca dari kegagalan proyek lahan gambut pada masa Orde Baru.

“Kembali ke pengalaman kegagalan proyek lahan gambut sejuta hektare masa lalu, untuk menjadi food estate, lahan gambut harus dikeringkan terlebih dahulu. Nah, lahan gambut yang kering ini sangat rawan dengan kebakaran,” kata Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas saat dihubungi Kalteng Pos, kemarin (12/7).

Menurutnya, selain berdampak rawan kebakaran, lahan gambut yang rusak juga menimbulkan dampak negatif lain, seperti lahan atau alam yang rusak dan hancurnya habitat satwa yang hidup dalam ekosistem lahan gambut. “Hal ini bisa  menimbulkan penderitaan yang besar bagi masyarakat,” ungkapnya.

Selain itu, ia mempertanyakan kejelasan rencana pemerintah pusat terkait proyek food estate ini, karena hingga kini belum ada informasi terbuka dan jelas yang sampai kepada masyarakat perihal proyek tersebut. Padahal, menurutnya, masyarakat Kalteng memerlukan kejelasan informasi terkait di mana sebenarnya lokasi lahan selain dua lokasi yang akan dijadikan proyek food estate, aturan main seperti apa, bukti kajian ilmiah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung kelayakan proyek food estate tersebut, serta bagaimana bentuk  keterlibatan dari masyarakat lokal dalam proyek dimaksud.

“Pernyataan-peryataan mengenai masuknya BUMN sebagai pengelola proyek dan hadirnya transmigran dari luar Kalteng tanpa ada keterlibatan penuh dari masyarakat lokal, dikhawatirkan hanya akan memicu konflik sosial dan justru membuat petani lokal kehilangan haknya dalam pengelolaan lahan,” ujarnya.

Saat ditanya kemungkinan adanya muatan kepentingan politik dalam proyek tersebut, Iola tidak menampik. Ia menyebut bahwa kemungkinan itu bisa saja terjadi.

“Kurang terbukanya pemerintah mengenai proyek ini, tentu saja menimbulkan banyak kecurigaan dari publik yang mengarah ke sana,” pungkasnya.

Sementara itu, Gerakan Kalimantan Climate Strike mengeluarkan pernyataan sikap. Peryataan itu dikirim ke email redaksi, kemarin (12/7). Mereka menganggap proyek food estate di Kalteng ini adalah proyek yang sangat bermasalah. Beberapa alasan dijabarkan mereka. Pertama, masalah ekologi. Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk pada tahun 2016 masih belum berhasil memulihkan area gambut eks PLG. Buktinya, kebakaran lahan masih terus terjadi di area eks PLG itu. Kedua, masalah sosial. Proyek food estate beserta paketannya yaitu program transmigrasi, dianggap berpotensi menciptakan konflik baru. Hingga saat ini pemerintah belum bisa memberikan solusi bagi para peladang.

Kalimantan yang dilarang untuk membakar lahan kebun dalam proses berladang. Puluhan petani Dayak ditangkap bahkan banyak yang masih berada dalam penjara karena dituduh sebagai penyebab kebakaran. Ribuan petani lain mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Rencana mendatangkan pekerja/petani dari luar Kalimantan hanya akan menambah kesenjangan sosial. Konsep dari food estate ini sendiri masih tidak jelas dan tidak mengimplikasikan keberpihakan kepada petani lokal.

Ketiga, pelanggaran hak masyarakat adat. Kebijakan agraria haruslah mengikuti kearifan lokal dari masyarakat setempat. Proyek-proyek dari pusat terkait pengelolaan lahan di Kalimantan selalu dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat Dayak. Proyek food estate yang meletakkan modal, pasar, dan investor di atas kepentingan masyarakat adat, akan menghancurkan ketahanan pangan masyarakat adat Dayak. Tidak ada konsultasi publik yang dilakukan. Tindakan ini tentu saja melanggar hak masyarakat adat atas teritori dan wilayah adat mereka.

Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalteng, Syahril Tarigan mengakui, untuk mendukung sekaligus menyukseskan proyek food estate di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia (petani).

Untuk tahap awal, data yang masuk ke pihaknya, tercatat sudah ada 19.786 orang petani. Tahap selanjutnya memerlukan tenaga petani sebanyak 21.364 orang. Pembagian per kabupaten baru akan dilakukan setelah luasan lahan di tiap kabupaten sudah ditetapkan.

“Sesuai arahan gubernur, dalam program food estate ini kami akan memaksimalkan sumber daya manusia lokal, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kalteng,” tegas Syahril.

Terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kalteng H Shalahudin menegaskan, program ini hanya memanfaatkan lahan yang sudah lama. Dipilih lahan yang subur. Kedalaman gambutnya paling dalam satu meter bahkan hanya 75 cm.  “Yang diambil merupakan lahan subur, sudah fungsional, dan sudah jalan. Bila dikatakan akan ada pembukaan lahan baru, maka itu tidak benar,” tegasnya. (sja/ce/ram)

Related Articles

Back to top button