BeritaHukum Dan KriminalKALTENGUtama

Emas Mahal, Nyawa Melayang: Tragedi Tambang Ilegal di Kalteng dan Jerat Kemiskinan

PALANGKA RAYA, Kalteng.co-Di tengah melambungnya harga emas di pasar global, ada sisi gelap yang tak boleh diabaikan: tambang-tambang emas ilegal atau tak berizin yang marak di berbagai daerah.

Aktivitas ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga berkelindan erat dengan kemiskinan struktural, konflik sosial, dan tragedi longsor yang merenggut nyawa. Kalimantan Tengah, sebagai salah satu lumbung emas, tak luput dari masalah ini.

Longsor Maut di Kapuas Tengah: Korban Tambang Emas Ilegal Berjatuhan

Akhir April 2025, duka kembali menyelimuti Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah. Empat penambang emas, yaitu Yunedi (46), Gasi (48), Sapir (35), dan Padli (25), meninggal dunia karena tertimbun longsor. Tragedi yang terjadi pada 29 April pukul 14.00 WIB ini berlangsung saat warga menambang emas secara tradisional di tengah gerimis.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) menegaskan bahwa insiden mematikan ini terjadi di wilayah pertambangan emas ilegal. KESDM menyatakan tidak tinggal diam dan terus bersinergi dengan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi terkait untuk meningkatkan pembinaan, pengawasan, serta penertiban aktivitas pertambangan yang belum memenuhi ketentuan.

Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengamini bahwa kejadian serupa bukan kali pertama terjadi. Data Walhi menunjukkan, pada 2021, enam orang tewas di Kotawaringin Timur dan dua di Murung Raya akibat insiden serupa. Tahun 2022, tiga nyawa melayang di Kecamatan Pasak Talawang, Kabupaten Kapuas. Bahkan, awal 2023, dua orang meninggal tertimbun longsor di Kabupaten Gunung Mas akibat kabar burung viral adanya bongkahan emas.

Fenomena tambang emas yang digolongkan ilegal ini memang sering terlihat di Kalteng, terutama saat musim kemarau di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, hingga Pulang Pisau.

Jeratan Kemiskinan Struktural dan Hilangnya Mata Pencarian

Ironisnya, sulit melihat penegakan hukum yang efektif terhadap tambang ilegal ini. Dugaan keterlibatan aktor lain yang memiliki peran penting, seperti para pemodal besar yang menyuplai alat berat, logistik, hingga membiayai operasional tambang, kerap berada di balik layar. Mereka ini, yang sering disebut ‘tuan’ dan tinggal di kota, diduga melibatkan oknum aparat keamanan dan turut menikmati keuntungan dari aktivitas ilegal.

“Kami tidak sedikit menemui, untuk mengamankan area pertambangan misalnya, mereka harus memberikan retribusi terhadap aparat keamanan,” ungkap Bayu Herinata dikutip, Rabu (21/5/2025).

Di sisi lain, para pekerja tambang hanyalah korban dari hilangnya mata pencarian di kampung halaman mereka. Ini adalah dampak langsung dari ekspansi perkebunan monokultur skala besar, khususnya kelapa sawit, yang kini menjadi subsektor pertanian paling besar di Kalteng. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, luas perkebunan sawit di Kalteng tahun 2023 mencapai 2,196 juta hektar, hampir empat kali luas Pulau Bali. Angka ini belum termasuk luas izin sektor lain, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Sebelumnya kan mereka berladang, berkebun, memanfaatkan hasil hutan, semakin kesini, lahan atau wilayah mereka banyak yang sudah diubah fungsi perkebunan skala besar,” jelas Bayu.

Yuliana, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya, sepakat. Ia menilai maraknya aktivitas warga di kawasan pendulangan emas adalah respons terhadap peluang cepat menghasilkan rupiah, meskipun risikonya tinggi. Mereka terpaksa menjadi penambang karena tidak ada pilihan.

“Sehari, mungkin mereka bisa dapat sampai Rp5 juta. Walau itu besar bagi kita, tetapi tidak bagi mereka para penambang emas, karena memang biaya hidup sekarang di desa-desa itu cukup besar. Mereka harus membiayai anak sekolah bahkan kuliah di kota itu kan mahal,” kata Yuliana.

Yuliana juga menyoroti penggunaan istilah tambang emas ilegal. Menurutnya, dari kacamata sosiologi, diksi ini kurang tepat dan cenderung merendahkan peran masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam di tanah mereka sendiri.

Ia lebih suka menyebutnya tambang emas rakyat. Kritik ini berangkat dari kenyataan bahwa masyarakat lokal kerap terdorong ke aktivitas pertambangan karena fenomena kemiskinan struktural.

Sementara itu, data BPS menunjukkan, persentase penduduk miskin di Kalimantan Tengah per Juli 2024 mencapai 5,17%, meskipun banyak sektor perkebunan dan pertambangan mengeruk sumber daya alam di provinsi ini.

Investasi yang masuk tidak menjamin penyerapan tenaga kerja lokal sesuai harapan, bahkan hampir tidak adanya masyarakat lokal yang menduduki posisi strategis dalam struktur organisasi perusahaan perkebunan sawit.

“Ujung-ujungnya ya jadi buruh. Untuk jadi manajer umum atau posisi bagus lainnya, itu pun hanya orang-orang tertentu saja yang bisa naik,” pungkas Yuliana.

Memecah Lingkaran Setan: Peran Negara dan Regulasi Adil

Yanedi Jagau, dari Borneo Institute Foundation (BIT), menilai negara harus hadir dan menyiapkan regulasi adil bagi seluruh pelaku tambang, baik skala kecil maupun besar. Ia menyerukan penegakan hukum yang adil, termasuk kejelasan apakah suatu wilayah tergolong sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau bukan. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

“Peristiwa kecelakaan kerja yang membahayakan keselamatan para penambang bukan hanya keprihatinan, tapi memerlukan langkah menyeluruh dan konkret, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah,” ujarnya.

Yanedi mendesak pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah alternatif dalam pembukaan lapangan kerja guna mengurangi eksploitasi sumber daya alam. Ia juga menyayangkan banyak penambang kecil yang harus berjibaku menghidupi keluarganya akibat kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan cenderung berpihak pada penambang besar.

“Perlu ada ruang kelola tambang milik rakyat yang diatur bersama oleh pihak berwenang seperti Polri, KESDM, kepala daerah, NGO, lembaga adat, dan lainnya. Jangan biarkan rakyat berjuang sendiri,” tegasnya.

Fenomena ‘Gold Rush’ dan Dampak Ekonomi Global

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut maraknya tambang emas ilegal merupakan bagian dari fenomena ‘gold rush’. Aktivitas jenis ini meningkat pada momen-momen tertentu, terutama saat harga emas sedang tinggi, mendorong peningkatan produksi baik yang legal maupun ilegal.

Terlebih, harga emas Antam yang terus naik hingga Rp2.016.000 per gram pada 22 April 2025, turut mendorong orang untuk menambang, meski nyawa menjadi taruhan. Demi mengejar target produksi, perekrutan tenaga kerja tambang kerap terjadi secara mendadak, tanpa peduli latar belakang pekerjanya.

Menurut Bhima, ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, serta tren bank sentral di berbagai negara yang cenderung tidak lagi mengoleksi dolar dan beralih ke emas batangan untuk memperkuat cadangan devisa, turut mendorong meningkatnya minat terhadap emas sebagai aset. Kondisi ini tentu saja berdampak pada meningkatnya permintaan emas secara global, yang sayangnya juga bisa mendorong aktivitas penambangan demi memenuhi kebutuhan pasar.

“Kalau bank sentral berburu emas, maka akan semakin banyak tambang tanpa izin yang muncul, dan risiko kecelakaan kerja pun meningkat, bisa jadi memakan korban,” pungkas Bhima. (*/tur)

Related Articles

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co
Back to top button