
JAKARTA, Kalteng.co-Laporan terbaru Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) bersama Kaharingan Institute salah satu mitra lokal di Provinsi Kalimantan Tengah yang diterima Kalteng.co pada Selasa (21/1/2025) mengungkap fakta mengejutkan tentang kondisi hutan di Indonesia.
Hasil pemantauan yang dilakukan di tujuh provinsi menunjukkan adanya praktik ilegal dalam skala besar yang mengancam kelestarian hutan dan lingkungan.
Laporan yang disusun oleh Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) bersama mitra di tujuh provinsi ini menegaskan bahwa meskipun ada upaya perbaikan tata kelola hutan, pembalakan liar, eksploitasi hutan oleh pemegang hak atas tanah (PHAT), serta lemahnya perlindungan terhadap pemantau dan masyarakat adat masih menjadi ancaman serius.


Laporan ini menemukan berbagai indikasi pelanggaran di tingkat hulu hingga hilir, antara lain:
- Tanah Papua: PT Subur Karunia Raya di Papua Barat yang memanfaatkan kayu dengan izin IPK, terindikasi membuka hutan di sempadan sungai dan merusak ekosistem gambut.
- Riau dan Kalimantan Utara: PT Satria Perkasa Agung dan PT Adimitra Lestari terindikasi abai dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).
- Aceh dan Kalimantan Tengah: Pemanfaatan PHAT yang disalahgunakan untuk melegalkan penebangan dalam kawasan hutan.
- Industri Hilir: CV Almenta di Jawa Timur terindikasi kuat menerima kayu ilegal.
Eksploitasi Hutan dengan Modus PHAT dan IPK
Rahmad Syukur dari Yayasan Apel Green Aceh mengungkapkan, “Kami menemukan modus penggunaan Hak Atas Tanah (PHAT) untuk melegalkan kayu hasil penebangan ilegal di Kabupaten Nagan Raya. Hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan mengancam wilayah masyarakat adat. Dalam salah satu kasus, kawasan lindung telah disalahgunakan untuk kepentingan komersial tanpa memperhitungkan dampak ekologis.”
Wancino dari Kaharingan Institute menambahkan, “Praktik PHAT ini sangat merugikan hutan dan masyarakat sekitar. Perusahaan memanfaatkan celah hukum untuk menghindari sanksi, sementara aktivitas ilegal mereka terus menghancurkan kawasan hutan primer.”
Sementara itu, Sulfianto Ilyas dari Panah Papua menyoroti pemanfaatan kayu dengan izin IPK yang kini diubah menjadi PKKNK sebagai celah legalisasi deforestasi. “Pemanfaatan kayu dengan izin IPK ini sangat erat dengan deforestasi yang prosedurnya hanya untuk memenuhi proses administrasi semata, tanpa ada jaminan keberlanjutan. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan sehingga membuka celah eksploitasi hutan alam. ”
Ketidaksesuaian Implementasi SVLK dan Lemahnya Pengawasan di Industri Hilir
Pelaksanaan SVLK masih menunjukkan banyak celah. Pemegang izin PBPH Hutan Alam dan Hutan Tanaman seringkali abai terhadap indikator 3.2 terkait pengamanan dan perlindungan hutan. Sebagai contoh, tapal batas yang belum temu gelang sering menjadi permasalahan.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelibatan masyarakat lokal, sehingga memicu konflik tenurial. Raja Alpian dari Yayasan Gambut menyatakan ”Implementasi SVLK di PBPH Hutan Tanaman masih sering ditemukan ketidaksesuaian. Banyak perusahaan tidak memenuhi kewajiban dalam melibatkan masyarakat dalam tapal batas, yang akhirnya berdampak pada kerusakan ekosistem dan konflik kepentingan.”