BeritaNASIONALPENDIDIKAN

Ustaz/Ustazah di Pesantren Tidak Wajib Sarjana, Kompetensinya dalam Mengajar Ditentukan Dewan Masyayikh

KALTENG.CO-Di tengah upaya pemerintah memberikan jaminan mutu lembaga pendidikan di Negara ini, sistem pendidikan di pondok pesantren menjadi salah satu yang menjadi perhatian serius.

Pasalnya, lembaga pendidikan ini berbeda dengan pendidikan formal yang berada di bawah Kemendiknas maupun Kemenag. Oleh karenanya standardidasi lembaga pendidikan dan tenaga kependidikannya tidak bisa disamakan begitu saja.

Salah satunya yang menjadi perhatian adalah keharusan ustaz/ustazah di Pondok Pesantren bergelar sarjana, baik strata (S-1) maupun strata (S-2). Kewenangan menentukan kualifikasi atau kompetensi para ustaz/ustazah dalam mengajar sepenuhnya menjadi kewenangan dewan masyayikh di Ponpes setempat.

Peluncuran dokumen pedoman sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren, dijadwalkan di Majelis Masyayikh, Jakarta pada Selasa (14/11/2023).

Terdapat empat poin penjaminan mutu pesantren, salah satunya mengatur standar pendidik dan tenaga kependidikan. Untuk jadi guru di pesantren tidak diwajibkan berpendidikan minimal sarjana (S-1) atau magister (S-2).

Rencana penerbitan dokumen pedoman sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren itu disampaikan dalam Sosialisasi UU No 18/2019 tentang Pesantren, yang ditayangkan virtual dari Pondok Pesantren Langitan, Tuban pada Minggu (12/11).

Nantinya, otoritas penjaminan mutu untuk pesantren menjadi kewenangan Majelis Masyayikh. Yaitu, lembaga induk penjaminan mutu pesantren yang independen dan dibentuk berdasarkan UU 18/2019 tentang pesantren.

Ada empat aspek utama yang akan dijadikan dasar penjaminan mutu bagi pesantren. Yaitu, standar kompetensi lulusan, serta kerangka dasar, dan struktur kurikulum. Kemudian standar pendidikan dan tenaga kependidikan, serta standar mutu lembaga pendidikan itu sendiri.

Terkait dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan, pesantren diminta menetapkan standar kompetensi bagi pendidik masing-masing. Termasuk juga dengan tenaga kependidikan dan tenaga pengasuhan dalam pendidikan pesantren.

KH Abdul Ghofur Maemoen, pengasuh pondok pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, menjelaskan bahwa Majelis Masyayikh tidak akan menetapkan standar mutu secara sepihak bagi pesantren.

Akan tetapi merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren. Serta, merumuskan kompetensi profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan.

“Tidak akan ada persyaratan bahwa pengajar harus memiliki gelar sarjana (S-1) atau magister (S-2),” tegasnya.

Selama para pengajar itu telah mendapatkan pengakuan dan rekomendasi dari kiai bahwa mereka memiliki pengetahuan setara dengan gelar yang diminta.

Selama sudah ditandatangani oleh Dewan Masyayikh, disampaikan kepada Majelis Masyayikh, dan terbukti memang mempunyai keahlian tertentu, maka seorang guru sah dianggap sebagai pengajar di pesantren.

Sementara itu, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abd A’la Basyir mengatakan, tugas Majelis Masyayikh berkomitmen melindungi lulusan pesantren dengan cara menyetarakan ijazah mereka dengan pendidikan formal lainnya.

Dengan demikian, lulusan pesantren dapat dihargai dengan ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren. Sehingga para alumni pesantren tidak lagi mengalami diskriminasi dalam melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan.

“Kita tidak berbicara lulusan Aliyah atau Tsanawiyah yang memang sudah jelas rumahnya,” tuturnya. Tetapi berbicara tentang lulusan pesantren dengan pendidikan Muadalah, Diniyyah formal, dan kitab kuning. (*/tur)

Related Articles

Back to top button