Liku-Liku Borneo Tattoo Mendokumentasikan Budaya Tato Dayak Kalimantan
Delapan bulan mengelilingi Kalimantan, Borneo Tattoo meneliti dan mengarsipkan budaya tato Suku Dayak dan sub-Dayak. Naik motor, kenyang kesasar meski sudah bermodal GPS.
FOLLY AKBAR, Jakarta
MELEWATI jalanan setapak. Menyusuri hutan tropis. Menyeberangi sungai-sungai. Dan, menemui masyarakat adat di pedalaman Kalimantan.
Delapan bulan lamanya Bonfilio Yosafat melakukan itu semua. Demi mengarsipkan tradisi bertato masyarakat Dayak Kalimantan yang mulai digarap empat tahun lalu.
Tapi, pandemi Covid-19 yang menutup banyak akses telah mengganjal kerja pendokumentasian itu. Bonbon pun memilih balik dulu ke Jawa sejak awal Agustus.
Selama delapan bulan itu Bonbon dan dua rekannya, Atma Parindra dan Doni Prayogo, sudah menyelesaikan sebagian besar target ekspedisi Borneo Tattoo. Mendatangi 22 Suku Dayak dan berbagai subkulturnya di lebih dari 60 desa yang tersebar di lima provinsi di Kalimantan.
Dia tinggal butuh mendatangi empat Suku Dayak lain setelah pandemi. ’’Masih kurang sekitar enam desa lagi (tempat empat Suku Dayak itu bermukim),’’ ujarnya kepada Jawa Pos (11/8).
Meski sebagian besar sudah didokumentasikan, penundaan ekspedisi tetap memicu kekhawatiran Bonbon dkk. Maklum saja, mereka tengah berkejaran dengan waktu.
Ini mengingat tradisi menato di suku-suku Kalimantan terus tergerus dan nyaris punah di banyak tempat. Terlambat sedikit, bukti otentiknya bisa hilang.
Kekhawatiran punahnya tradisi tato Kalimantan tanpa ada arsip atau dokumentasi itu pula yang melandasi tekad awal Bonbon menjalankan ekspedisi tersebut. Apalagi, dari hasil riset yang dia lakukan sejak 2016, belum ada kerja pengarsipan yang meneliti tradisi bertato warga Dayak secara menyeluruh.
Kerja dokumentasi, kalaupun ada, hanya meliputi beberapa suku. Sedangkan Bonbon mencoba menelitinya secara menyeluruh dengan perspektif warga Indonesia.
’’Saya ingin yang membuat arsip visual adalah orang Indonesia, dengan pendekatan dan sudut pandang orang Indonesia,’’ kata Bonbon.
Rencananya, arsip dibuat dalam bentuk film dokumenter dan photobook atau buku foto untuk merekam bukti otentik itu. ’’Saya berharap bisa bertemu dengan relasi yang bisa membantu saya untuk mencetak buku dalam jumlah banyak. Untuk dibagikan gratis ke masyarakat,’’ tutur sosok yang sejak kecil menyukai seni tato tersebut.
Bagi dia, Indonesia akan rugi besar jika tradisi bertato yang dimiliki masyarakat Dayak Kalimantan tidak sempat diarsipkan secara komprehensif. Sebab, berbeda dengan tato masyarakat kota yang menjadi gaya hidup dan industri, tato Borneo merupakan simbol dan budaya. Dan, selama berabad-abad diwariskan dari generasi ke generasi.
’’Ketika suatu saat hilang, setidaknya Indonesia punya aset visual,’’ terangnya.
Kekhawatiran akan kepunahan itu sudah terkonfirmasi di lapangan. Dari hasil penyisiran Bonbon dan dua rekannya, budaya tato di kalangan Dayak mulai luntur.
Di antara lebih dari 22 suku yang telah dia datangi, hanya satu suku yang warganya masih banyak bertato. Yakni, Suku Iban. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya anak-anak muda yang mengenakan tradisi tato di tubuh mereka.
Itu pun didominasi laki-laki. Perempuan baru mulai melakukan tradisi tato kembali.
Sementara itu, tradisi tato di mayoritas suku Dayak lain hanya meninggalkan sisa-sisa dari generasi tua. ’’Yang lain sebetulnya masih ditemui, tapi umurnya sudah 60 sampai 70 tahun ke atas. Ada juga yang usia 100 tahun,’’ kata jebolan Jurusan Fotografi Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itu.
Lalu, apa penyebabnya? Dari hasil interaksinya dengan warga, tradisi bertato di masyarakat Dayak mulai hilang karena infiltrasi sistem-sistem sosial baru di masyarakat.
Beberapa agama dan keyakinan masyarakat setempat, misalnya, mengajarkan larangan untuk melanjutkan tradisi tato tersebut. Sekolah-sekolah formal juga menerapkan aturan larangan serupa.
Banyak pegawai pemerintahan yang juga dilarang bertato. Meskipun ada pula instansi pemerintahan yang mengizinkan sesuai dengan kesukuan, namun tidak banyak.
Pada masa lalu, definisi kecantikan di beberapa kesukuan Dayak ditandai dengan memiliki tato dan telinga panjang. Yang juga menjadi penanda strata sosial.
Namun, arus modernisasi yang membawa serta definisi tunggal soal cantik dan bersih turut menggeser perspektif warga Dayak. ’’Ada yang merantau ke kota, melihat orang cantik di kota itu kulitnya mulus, nggak ada tato, telinga nggak panjang (cuping), lalu akhirnya meninggalkan tato dan telinga panjang,’’ tuturnya.
Berbagai faktor tersebut pada akhirnya melahirkan stigma negatif terhadap orang bertato. Dari pantauan Bonbon, perubahan tersebut perlahan memecah pula pandangan masyarakat Dayak. Bukan hanya yang muda, melainkan juga para tetua.
Sub-Suku Dayak yang masih menjalani tradisi tato, antara lain, Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Kenyah Uma Bakung, Suku Dayak Kenyah Uma Baha, Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Suku Dayak Kenyah Uma Kulit, dan Suku Dayak Kenyah Lepoq Tau. ’’Mereka punya motif sendiri, punya pemaknaan sendiri,’’ terangnya.
Pengarsipan sendiri tidak berjalan mudah. Sejak awal, Bonbon sadar ekspedisi tersebut merupakan pekerjaan yang membutuhkan sumber daya yang besar. Baik materi, logistik, maupun teknis dan mental.
Karena itu, persiapan dilakukan jauh hari sebelum start, persisnya mulai 2016. Bonbon mengajukan proposal ke berbagai instansi, baik swasta maupun pemerintahan.
Namun, menurut Bonbon, semesta belum mendukung. Jadilah dia menggunakan dana pribadi. Dari tabungan dan hasil usaha dana menjual merchandise.
Bonbon mengaku sangat beruntung kemudian bisa bertemu dengan Sukardi Rinakit, staf khusus presiden, yang secara personal sangat mendukung cita-citanya melakukan pengarsipan visual.
Sosok lain yang punya andil besar dalam ekspedisi Borneo Tattoo adalah Aan Fikriyan. Bersama Kustomfest yang digawanginya, Aan memberikan dukungan dua buah sepeda motor CRF 150 cc sebagai moda transportasi selama delapan bulan perjalanan.
Selain itu, ada dukungan alat dokumentasi untuk perjalanan dan pengaryaan dari Ali Husaini, perwakilan Egopro Jogja, dan Yandez, perwakilan Eiger yang men-support berbagai peralatan selama perjalanan.
Ekspedisi tersebut dilaksanakan dengan modal niat dan kenekatan, namun tetap mempertimbangkan manajemen risiko. Sebab, di perjalanan semua bisa terjadi.
Bermotor mengelilingi Kalimantan, prediksi awal selesai dalam tiga bulan. Ternyata mundur hingga delapan bulan.
Penyebabnya, banyak jalur yang sulit dan berisiko tinggi. Meski sudah bermodal GPS (global positioning system), perjalanan tetap tidak lancar. Sinyal kembang kempis hingga petunjuk arah yang keliru menjadi makanan keseharian selama perjalanan.
Faktor lain adalah banyaknya temuan menarik di lapangan. Semakin berjalan, semakin banyak tahu dan semakin penasaran. Banyaknya informasi baru di lapangan yang di luar perencanaan awal membuat waktu tiga bulan terlampau pendek.
Dan, yang tidak kalah memakan waktu adalah pendokumentasian. Pada umumnya, Bonbon tidak dapat melakukan wawancara atau pengambilan gambar pada hari yang sama setelah datang di sebuah tempat.
Dia harus mengakrabkan diri dan membangun rasa saling percaya. Belum lagi persoalan bahasa. Mengingat banyak narasumber berusia lanjut dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas.
Molornya waktu berdampak serius terhadap isi kantong. Bonbon dan teman-teman terpaksa memutar otak dengan melakukan pekerjaan sampingan. Misalnya, membuat feature pendek untuk sekolah-sekolah.
Terkait dengan penggunaan motor dalam ekspedisi, Bonbon menyebut sepenuhnya mempertimbangkan teknis. Selain lebih murah, motor relatif lebih mudah untuk menyusuri kondisi geografis Kalimantan. Penggunaan motor pada akhirnya juga menambah keyakinan masyarakat.
’’Dengan menggunakan motor dari Jawa ke Kalimantan, ternyata tim jadi mudah dekat dengan masyarakat. Sebab, mereka melihat keseriusan yang kami lakukan,’’ kata dia. (*/c19/ttg)