Dipelopori Pemuda Alabio di Amuntai, Muhammadiyah Menyebar hingga Puruk Cahu dan Sampit
Selanjutnya mendaras kitab kuning. Dari Alabio ke Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Setelah itu beralih ke Pamangkih, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pindah lagi ke Kelua, Kabupaten Tabalong.
Menginjak remaja, usia 15 tahun, Japeri naik haji. Dia sempat bermukim selama lima tahun di Makkah, untuk mendalami ilmu agama.
Alkisah, Japeri kerap tidur hanya berbantalkan batok kelapa. Tujuannya agar tidurnya tak terlalu nyenyak.
Pada umur 20 tahun, Japeri pulang ke kampung halamannya. Menikahi Siti Safiah dan dianugerahi empat anak. Yaitu Abdul Karim Japeri (almarhum), M Hasan Japeri, M Kasyful Anwar Japeri (Kepala Madrasah Mualimin Muhammadiyah Alabio), dan Achmad Tajuddin Japeri (pedagang di Banjarmasin).
Sebagai ulama muda, Japeri dikenal pendiam dan ramah. “Beliau mulanya membangun musala kecil. Tempat di mana orang bisa salat dan belajar mengaji,” kata Rohim yang juga Wakil Direktur II Ponpes Nurul Amin.
Pengajian untuk laki-laki dikhususkan setiap hari Ahad. Masyhur dengan sebutan “mengahad”. Sedangkan untuk perempuan, rutin pada hari Senin, sebutannya “nyenayan”.
Selasa, Japeri mengajar keluar Alabio. Naik kereta kuda atau perahu. Tepatnya di Kampung Jarang Kuantan, dekat Amuntai.
Sedangkan Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu merupakan hari-hari cadangan, untuk memenuhi undangan-undangan ceramah di berbagai tempat.
“Jadi dalam sepekan, semua hari disediakan untuk kepentingan dakwah,” tegas Rohim.
Seiring waktu jemaahnya terus bertambah. Musala itu berkembang menjadi madrasah, lalu menjadi pondokan. Santrinya berdatangan dari Kelua, Tanjung, Tawia, Rantau dan Nagara.
Japeri dikenal sebagai ulama yang senang berdialog. “Beliau kerap berdiskusi dengan para ulama Alabio,” ujarnya.