BeritaHukum Dan KriminalKASUS TIPIKORNASIONALPOLITIKA

Tahun 2023, Korupsi Sektor Politik Diprediksi Meningkat; Ini Modusnya Menurut ICW

KALTENG.CO-Tahun politik sudah di depan mata. Pada tahun 2023 hingga 2024 ini, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan rentan dipergunakan untuk kepentingan politik, terutama oleh para pejabat petahanan atau incumbent.

Modus pengggunaan anggaran untuk kepentingan politik inipun sangat beragam dan halus. Sehingga cenderung sulit untuk dilacak.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memprediksi kasus korupsi berdimensi politik disinyalir akan merebak, akibat gesekan kepentingan politik elektoral pada 2023. Hal ini seiring mendekatnya Pemilu 2024.

“Praktik penegakan hukum kasus korupsi yang menyangkut kepala daerah, pimpinan partai politik, anggota legislatif juga rawan dipolitisasi,” kata peneliti ICW, Lalola Ester dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/1/2022).

Lalola menegaskan, penegakkan hukum berpotensi akan masih kalah tegas dengan praktik korupsi, yang terus berkembang jika tidak ada upaya penguatan penegak hukum dalam membangun profesionalisme kerja.

Menurut Lalola, dalam tiga tahun terakhir, terdapat sejumlah modus korupsi yang dominan dan baru, di antaranya modus penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, penggelapan, mark up, suap, hingga manipulasi saham atau memanfaatkan pasar modal.

Dari sisi sektor, beberapa sektor yang rawan dikorupsi hampir sama. Lalola menyebut, sektor yang menjadi pemenuhan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pangan berpotensi akan terus digerogoti.

Selain empat hal itu, sektor dana desa diproyeksikan ke depan, akan tetap menjadi sektor yang paling banyak dikorupsi, seiring dengan peningkatan anggaran yang semakin besar.

Menariknya, modus manipulasi saham atau pemanfaatan pasar modal yang menjadi temuan ICW sejalan dengan catatan PPATK belum lama ini. Berdasarkan temuan lembaga tersebut yang dirilis pada akhir tahun 2022 lalu, terdapat 1.215 laporan transaksi keuangan mencurigakan dengan nilai Rp 183,8 triliun.

“Dari total transaksi tersebut, terdapat lebih dari Rp 81,3 triliun yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Hasil analisis PPATK juga menemukan, modus yang paling jamak digunakan untuk menampung dana, yang diduga hasil korupsi, yaitu mulai dari penukaran valuta asing, instrumen pasar modal, hingga pembukaan polis asuransi,” papar Lalola.

ICW memproyeksikan, kasus korupsi dengan modus suap dan manipulasi saham memanfaatkan pasar modal, berpotensi semakin masif terjadi. Gejala-gejala tersebut telah terlihat dari temuan ICW dan PPATK. Pola korupsi yang semakin canggih diprediksi meningkat jumlahnya seiring dengan eskalasi politik jelang pemilu.

“Semakin dekatnya tahun politik 2024, kerawanan ini akan semakin menguat. Terlebih, berdasarkan catatan ICW praktik suap terkait, konsesi pengelolaan sumber daya alam, sektor pengadaan, hingga mahar politik biasanya akan mencuat jelang tahun politik,” pungkasnya. (*/tur)

Related Articles

Back to top button