Penertiban Knalpot Brong di Palangka Raya Dinilai Kurang Tepat dan Perlu Regulasi Lebih Tegas
PALANGKA RAYA, Kalteng.co – Penertiban penggunaan knalpot brong di Palangka Raya mendapat sorotan dari pengamat hukum yang menilai penindakan belum tepat dan perlunya regulasi lebih tegas.
Advokat sekaligus Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kalteng, Suriansyah Halim, menilai, regulasi yang ada saat ini belum cukup efektif dan perlu diperkuat dengan aturan yang lebih komprehensif.
Ia menjelaskan, Pasal 285 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memang mengatur larangan penggunaan kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk knalpot.
“Namun, pasal ini hanya menitikberatkan pada aspek administratif dan teknis tanpa mempertimbangkan dampak sosial seperti kebisingan yang mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat,” katanya ketika diwawancarai awak media, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, untuk memperkuat penindakan itu perlu dikombinasikan dengan aturan lain seperti Pasal 503 KUHP yang mengatur gangguan ketertiban umum, Pasal 492 KUHP tentang membuat gaduh di malam hari dan perda ketertiban umum yang sudah banyak diterapkan di berbagai daerah.
“Peraturan-peraturan tersebut mampu memperluas cakupan hukum sehingga penanganan pelanggaran knalpot brong tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial,” tegasnya.
Selain itu, Suriansyah menyoroti efektivitas sanksi administratif yang selama ini diterapkan, seperti denda maksimal Rp250.000 untuk sepeda motor dan Rp500.000 untuk mobil yang dianggap belum mampu memberikan efek jera bagi pelanggar.
Ia mengusulkan langkah lebih tegas seperti penyitaan dan pemusnahan knalpot brong, penerapan pasal tambahan terkait gangguan ketertiban umum serta edukasi hukum hingga razia rutin untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Masalah kebisingan dari knalpot brong juga dinilai sebagai bentuk polusi suara yang berpotensi mengganggu kesehatan mental dan fisik warga.
Dalam konteks hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kebisingan ini dapat dikategorikan sebagai gangguan lingkungan.
“Oleh karena itu, diperlukan standar ambang batas kebisingan yang tegas dan sanksi administratif dan pidana bagi pelanggar ambang batas tersebut,” cecarnya.
Ia mendorong pemerintah daerah untuk memanfaatkan kewenangannya dalam membuat perda ketertiban umum yang secara spesifik melarang penggunaan knalpot brong di kawasan sekolah, permukiman padat, rumah ibadah dan area rawan bising.
“Langkah ini penting untuk mengatur tata kelola lingkungan yang nyaman dan aman bagi masyarakat. Namun, ia juga mengakui adanya sejumlah kendala dalam penertiban ini,” sebutnya.
Salah satunya adalah ketiadaan standar teknis yang operasional, seperti alat ukur kebisingan (sound level meter) yang belum tersedia secara memadai di aparat penegak hukum.
Selain itu, koordinasi antarinstansi seperti polisi, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP belum maksimal, serta belum adanya perda spesifik yang mengatur larangan knalpot brong di banyak daerah.
“Faktor budaya permisif dan minimnya edukasi hukum juga membuat banyak masyarakat belum memahami bahwa penggunaan knalpot brong bukan sekadar gaya, melainkan pelanggaran hukum yang harus ditindak,” imbuhnya.
Penertiban knalpot brong di Palangka Raya membutuhkan pendekatan hukum yang lebih menyeluruh dan terintegrasi. Regulasi yang jelas dan sanksi yang tegas serta upaya edukasi kepada masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan bersama.
“Pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam merumuskan kebijakan yang efektif demi menjaga kualitas lingkungan dan ketertiban umum,” pungkasnya. (oiq)
EDITOR: TOPAN




