BeritaNASIONALPOLITIKA

Berpotensi Dimanfaatkan Pejabat Antikritik, Pasal Penghinaan Lembaga Negara di Draf RKUHP

KALTENG.CO-Draf RKUHP yang masih dalam pembahasan di DPR RI, ternyata masih berpotensi tidak pro kehidupan berdemokrasi. Pasalnya, pada pasal 347 di draf tersebut terdapat pasal penghinaan terhadap lembaga Negara.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Jika tidak dihilangkan atau dikoreksi, pasal ini bisa dimanfaatkan pejabat yang antikritik untuk memberangus kehidupuan berdemokrasi, dengan memindanakan orang-orang vokal menyampaikan kritik, tentunya dengan mengatasnamakan penghinaan.

Pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi polemik. Kali ini terkait dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum.

Komisi III DPR mempersoalkannya dan meminta pasal tersebut diganti menjadi pasal fitnah.

Penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum tercantum dalam Pasal 347 draf RKUHP. Pasal 347 ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, pasal-pasal terkait dengan penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum dalam RKUHP akan berpotensi menjadi masalah. ”Apabila tidak diberikan batasan yang ketat,” ujarnya, Kamis (10/11/2022).

Dalam rapat komisi III dengan pemerintah pada 9 November lalu, dia menyampaikan masukan agar kata ”penghinaan” dibatasi menjadi ”fitnah”, yaitu tuduhan yang diketahuinya tidak benar. Dengan begitu, pembuktiannya bisa dilakukan dengan ukuran objektif.

Menurut Tobas, demikian Taufik Basari biasa disapa, apabila masih menggunakan kata ”penghinaan”, ukurannya akan menjadi subjektif. ”Sehingga dapat disalahgunakan untuk kepentingan penguasa yang antikritik,” kata politikus Partai Nasdem itu.

Legislator asal dapil Lampung itu mengatakan, pihaknya tidak ingin ada pasal-pasal dalam RKUHP yang berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi. Atau, dapat menjadi alat bagi kekuasaan untuk menjadi otoriter dan antidemokrasi.

Jika memang pasal-pasal itu tidak dapat dihapus, dia berharap dalam pembahasan pada 21 November pemerintah dan DPR dapat mengakomodasi masukan yang disampaikannya.

Yaitu, membatasi unsur pada pasal-pasal penghinaan terhadap lembaga Negara, dan kekuasaan umum, dengan mengubah dari delik penghinaan menjadi delik fitnah.

”Sehingga pembuktiannya akan lebih objektif dengan batas-batas yang ketat,” terangnya.

Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal penghinaan terhadap lembaga Negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 349 ayat 1 RKUHP terlalu berlebihan.

Sebab, pasal tersebut berpotensi membuat KUHP menjadi terdegradasi. ”Kalau (kekuasaan atau lembaga negara) antikritik, lebih baik bubar saja,” kata Fickar.

Dia menyebutkan, KUHP semestinya berlaku secara umum. Dengan kata lain, KUHP bukan untuk mengakomodasi kepentingan perorangan atau lembaga-lembaga tertentu.

Dalam draf RKUHP, lembaga-lembaga yang dimaksud dalam frasa kekuasaan umum atau lembaga negara, antara lain, DPR, DPRD, Polri, Kejaksaan RI, atau pemerintah daerah (pemda). ”DPR itu dari dulu, oknum-oknumnya antikritik,” ujar Fickar.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menambahkan, masih masuknya pasal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP menandakan bahwa pemerintah dan tim perumus tidak mendengarkan masukan masyarakat sipil. ”Janji pemerintah untuk dialog itu tidak terbukti,” katanya.

Menurut Isnur, pasal penghinaan semacam itu jelas bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Juga menandakan bahwa paradigma pemerintah dan tim perumus RKUHP adalah melindungi kekuasaan sebagai subjek.

”Dan itu berarti dalam benak mereka (pemerintah) adalah antidemokrasi,” imbuhnya.

Isnur menjelaskan, pasal-pasal tersebut sangat tidak layak diterapkan pada negara demokrasi dan menjunjung kehidupan kebangsaan yang bebas. Karena itu, dia berharap pasal tersebut harus dikaji.

Pemerintah harus mendengarkan dan memperhatikan masukan masyarakat sipil dan anggota DPR yang menolak keberadaan pasal-pasal tersebut dalam RKUHP. (*/tur)

Related Articles

Back to top button