Tak Berkategori

Agustiar Sabran; Jangan Mengambinghitamkan Peladang!

PALANGKA RAYA-Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hampir bisa dipastikan terjadi tiap tahun. Ketika musim kemarau tiba selalu muncul karhutla dan disusul kabut asap yang terjadi di mana-mana. Pada akhirnya kejadian itu akan disematkan sebagai bencana lokal, nasional, hingga internasional.

Siapa pelakunya? Siapa yang patut disalahkan? Sejak lama muncul stigma bahwa penyebabnya adalah peladang berpindah yang notabene adalah orang Dayak. Padahal menurut Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng H Agustiar Sabran, berladang merupakan pekerjaan penduduk asli Kalimantan yang diwariskan turun-temurun.

“Kenapa kami melakukan itu (membuka lahan dan hutan dengan membakar, red)? Karena perut (untuk makan, red). Kalau udah urusan perut, apa pun dilakukan,” kata Agustiar, mantan peladang berpindah yang kini duduk di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), saat ditemui di Kantor DAD Kalteng, Selasa (14/7).

Pria yang dikenal sebagai pencinta olahraga catur itu meminta kepada para pemangku jabatan untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. “Ayo kita bersama bergandeng tangan dalam rangka berkoordinasi untuk antisipasi hingga eksekusi, supaya peladang tidak selalu jadi kambing hitam,” pintanya.

Karena itu, lanjutnya, perlu ada payung hukum untuk melindungi orang Dayak yang berladang ini. Apalagi dalam Pasal 33:3 UUD 1945 sangat jelas tertera bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

https://kalteng.co https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Artinya, sumber daya alam adalah untuk kemakmuran rakyat, tapi dikuasai dan diatur oleh negara. Negara dalam hal ini ada pemerintah pusat, gubernur, serta bupati/wali kota. “Di Kalteng sudah ada perda (peraturan daerah, red) yang diperjuangkan bersama-sama,” jelasnya.

Agustiar berharap setelah perda disahkan, segera disusul dengan keluarnya peraturan gubernur (pergub). Ia meminta agar pembahasan, pemerintah mesti melibatkan pelaku di lapangan. Siapa itu? Orang Dayak, sebagaimana Perda Nomor 16 Tahun 2008, ada perangkat yang mengaturnya, seperti DAD dengan BATAMAD, MADN, damang, mantir, dan lainnya.

“Ke depannya jangan lagi ada orang Dayak menjadi tumbal atau kambing hitam atau biang kerok kejadian ini (karhutla, red). Kita sepakat hukum harus ditegakkan meski langit runtuh. Tapi harus diingat, ada kearifan lokal yang dijaga dan tidak boleh hanya menjadi sejarah, apalagi ini menyangkut perut,” tegasnya.

Legalitas Membakar Lahan

Pada kesempatan yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar Forum Grup Discusion (FGD) secara virtual bertemakan Solusi Kearifan Lokal dalam Pembukaan Lahan < 2 Ha Dengan Cara Membakar. Agustiar bersama jajaran pengurus DAD Kalteng mengikuti secara saksama dari Sekretariat DAD Kalteng, Betang Hapakat, Palangka Raya.

“Kami mau mendengar usulan dan pendapat terkait pembukaan lahan dengan sistem bakar,” kata Wakil Menteri LHK Alue Dohong saat membuka diskusi yang diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, para pakar, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kementerian, dan lembaga terkait dari seluruh Indonesia itu.

Diskusi itu mengerucut ke satu pemikiran bahwa cara berladang dengan membakar adalah salah satu identitas kebudayaan bangsa, yakni upaya ketersediaan atau ketahanan pangan pada suatu daerah. Karena itu, dirasa perlu untuk mendapatkan legalisasi, sehingga bisa terus dipertahankan, dan bukan dipersalahkan.

“Makanya perlu inventarisasi jumlah peladang, lahan, dan ekosistemnya di mana. Perlu pemberdayaan untuk program pemerintah atau swasta yang dirasa kurang berpihak pada peladang. Harus ada program pendampingan tentang petunjuk teknis berladang ramah lingkungan hingga inovasi dan transpormasi perladangan modern,” jelas Alue Dohong.

Namun di balik itu, ketegasan regulasi dan integrasi seluruh stakeholder yang menumbuhkan eksaminasi patut ditegakkan. Perlu keseragaman istilah atau bahasa, sehingga jangan seolah-olah terkesan negatif. “Ini semua harus dikaji dan dipertajam, sehingga hasil diskusi ini bernilai positif,” katanya. (ron/ce/ala)

Related Articles

Back to top button